Andaikan di Dunia Tidak Ada Syiah…
[wzslider autoplay=”true”]
LiputanIslam.com – Melihat berbagai respon di media sosial atas rencana tabligh akbar yang digelar oleh pendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), maka mereka bisa dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Kelompok yang pro-ISIS
b. Kelompok anti-ISIS
c. Kelompok yang bingung menentukan sikap.
Dari pantauan Liputan Islam, argumen yang digunakan oleh kelompok pro-ISIS untuk membenarkan segala bentuk terorisme yang dilakukan ISIS adalah:
Argumen 1: ISIS tidak membunuh ummat Muslim. Itu adalah fitnah. Tapi kalau membunuh Syiah itu benar. Syiah memang layak dibunuh. Syiah sesat laknatullah, musyrik, bukan Islam, halal darahnya.
Argumen 2: ISIS adalah Ahlussunah, dan mereka melawan kezaliman Syiah di Irak dan Suriah.
Argumen 3: Kalian ditipu media-media Barat, sekuler, Yahudi, Syiah, yang berkonspirasi untuk menghancurkan kaum Muslimin.
Argumen 4: ISIS tidak membantai umat Islam, tetapi membantai Syiah yang telah membantai umat Islam.
Argumen 5: Syiah berniat memindahkan kiblat ke Karbala sebagaimana disampaikan oleh Nouri al-Maliki, dan hendak melenyapkan Ahlussunah. Lalu ISIS bangkit untuk melawan.
Argumen yang sering disampaikan oleh kelompok pro-ISIS ataupun pendukung teroris lainnya, pada akhirnya akan bermuara pada satu kesimpulan saja, yaitu: semua kekacauan ini disebabkan oleh Syiah.
Menurut mereka, yang menghancurkan membunuhi anak-anak adalah Syiah. Yang memperkosa wanita-wanita di Suriah dan Irak adalah Syiah. Yang menghancurkan masjid, fasilitas umum, dan melakukan kejahatan kemanusiaan adalah Syiah.
Jadi, andaikan tidak ada Syiah di kawasan tersebut, maka, seharusnya tidak terjadi kekacauan bukan?
Libya adalah sebuah negara kaya minyak di benua Afrika. Penduduknya, mayoritas beragama Islam, bermazhab Maliki. Selain Islam, ada juga komunitas Kristen Ortodoks sekitar 60.000 jiwa, ada pula pemeluk Katolik sebanyak 40.000 jiwa, sedikit komunitas Anglikan, sekitar 38.000 orang Yahudi. Perbandingan pemeluk agama di Libya adalah, 97% beragama Islam (Maliki) dan 3 % terpecah dalam berbagai agama selain Islam.
Dan, apa yang terjadi di Libya saat ini?
Perang sipil Libya yang berlangsung antara bulan Februari hingga Oktober 2011 mengakibatkan puluhan ribu orang tewas. Jumlah pasti korban tewas tidak diketahui, namun diperkirakan jumlahnya berkisar antara 10.000 hingga 40.000 jiwa , mayoritas warga sipil. Akibat perang itu pula, timbul arus pengungsi keluar Libya yang jumlahnya mencapai ratusan ribu—ke negara tetangga Libya seperti Mesir dan Tunisia.
Sejak perang sipil berakhir, pemenang perang langsung melakukan sejumlah perubahan. Bendera Libya yang awalnya berwarna hijau polos diganti dengan bendera bermotif tiga warna dan bulan sabit. Sistem pemerintahan “Jamahiriya Arab” buatan almarhum Ghadaffi yang berhaluan sosialis juga dihapuskan dan diganti menjadi sistem republik.
Di sektor ekonomi, perusahaan minyak nasional Libya juga mulai beroperasi kembali sejak bulan Januari 2012. Dan tentu saja, minyak ini “disedot” oleh AS dan sekutunya.
Walaupun perang dinyatakan sudah berakhir sejak bulan Oktober 2011, konflik-konflik bersenjata skala kecil masih kerap terjadi di Libya hingga sekarang antara pasukan pemberontak melawan sisa-sisa pasukan loyalis Ghaddafi. Konflik antar suku & kelompok bersenjata lokal juga timbul di berbagai penjuru Libya. Masih belum stabilnya kondisi keamanan pada gilirannya membuat aksi-aksi kriminal seperti penjarahan & perampokan kerap menimpa penduduk sipil.
Hal tersebut semakin diperparah dengan fakta bahwa sejak perang sipil di Libya meletus, banyak senjata yang beredar secara bebas di seantero Libya. Dikhawatirkan bila kondisi keamanan Libya masih belum membaik, maka perang sipil yang baru akan timbul di Libya.
Di luar Libya, perang sipil di Libya juga disebut-sebut merupakan penyebab utama timbulnya kembali pemberontakan suku Tuareg di negara Mali sejak akhir tahun 2011 hingga sekarang. Saat perang sipil di Libya meletus, salah satu pihak utama penyusun kekuatan pasukan loyalis Ghadaffi adalah suku Tuareg yang hidup di Mali. Begitu perang di Libya selesai dengan tewasnya Ghadaffi maka mereka pun kembali ke tempat asalnya sambil membawa stok persenjataan sisa-sisa perang sipil Libya. Nah, stok persenjataan itulah yang kemudian digunakan oleh suku Tuareg setempat untuk memulai aktivitas perjuangan bersenjata mereka dengan tujuan memerdekakan wilayah Azawad, Mali timur laut.
Dan seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, sisa-sisa loyalis Ghadaffi yang masih hidup pun akhirnya kembali “unjuk gigi” tanpa bisa dibendung. Mereka yang menamakan diri Green Resistance – kini tengah berjuang untuk merebut kembali Libya dari cengkraman boneka-boneka NATO.
Ghadaffi bukanlah sosok yang ‘bersih dari dosa’. Sebut saja, sikap diktatornya selama memimpin Libya. Namun di sisi lain, dibawah pemimpin yang diktator, Libya menjelma menjadi negara memiliki taraf kehidupan yang baik. Rakyatnya sejahtera, dan tidak ada kelompok radikal yang bisa hidup di wilayah Libya. Sedangkan kini, kelompok radikal turunan Al-Qaeda menyebar di seluruh pelosok Libya melakukan teror terhadap rakyat.
Dalam pemerintahannya, Ghadaffi berhasil membawa Libya dalam kemakmuran dengan pengolahan gas yang merupakan kekayaan alam yang terbesar di Libya. Pekerjaan dengan gaji tinggi dan juga biaya hidup yang rendah tersedia bukan hanya bagi rakyat Libya, tapi juga pekerja asing dari Mesir, Tunisia, Bangladeh, Thailand, Filipina, bahkan Perancis, Jerman, dan AS. Libya termasuk satu negara termakmur di dunia mengalahkan Singapura, Selandia Baru, Spanyol, dimana listrik, sekolah dan biaya kesehatan semuanya gratis.
Untuk menjamin keberlangsungan pertanian bagi rakyatnya, Ghadaffi menghabiskan lebih dari USD 10 milyar untuk membangun sungai buatan manusia terbesar dan sepanjang 2800km agar rakyatnya bisa bertani. Ghadaffi berhasil menjadikan padang tandus Libya menjadi lahan hijau yang menghasilkan buah dan sayur – sayuran.
Anshar al-Sharia Deklarasikan Islamic Emirate
Setelah Khilafah dideklarasikan di wilayah Irak dan Suriah yang dicaplok ISIS, kini kelompok militan radikal yang disebut Ansar al-Sharia mendeklarasikan Benghazi, sebagai “Islamic Emirate” atau kepemimpinan Islam pada Rabu (30/7/2014). Benghazi adalah kota kedua terbesar di Libya, dan Ansar al- Sharia adalah militan radikal turunan Al-Qaeda yang beroperasi di Libya. Saat ini Al-Sharia mengklaim telah mengontrol Benghazi dan merebut pos-pos militer. Juru Bicara kelompok ekstremis itu, kepada Radio Tauhid, yang dikutip oleh RT, menyatakan, “Benghazi kini telah menjadi Islamic Emirate.”
Namun, deklarasi ini dikecam oleh pasukan pro-pemerintah Libya. Dan empat tahun setelah AS dan NATO menggunakan militan radikal untuk menggulingkan Muamar Ghadaffi, Libya kini dalam kondisi terpuruk dan hancur.
***
Bukankah di Libya penduduknya mayoritas bermazhab Maliki? Bukankah di Libya, tidak pernah ada Syiah atau orang Syiah yang mengemban suatu jabatan penting?
Lalu mengapa, di sebuah tempat yang tidak ada penganut Syiah, kekacauan masih saja terjadi? Mengapa anak-anak dan wanita masih juga dibunuh? Bangunan masih juga dihancurkan, dan kelompok-kelompok militan radikal seperti Anshar al-Sharia masih juga melakukan aksi teror? Silahkan berpikir, akhi wa ukhti! (ba)