Tak perlu meniru Syiah, Bagi Sunni Menjamak Salat adalah Rukshah dan Boleh Dilakukan (3-selesai)
Penelitian Dr. Zukarnain tentang hadis-hadis azimah dan rukshah salat yang telah ditakhrij, dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Islam telah menetapkan bahwa salat lima waktu itu hukumnya wajib, dan waktunya telah ditentukan. Hanya saja, agar umat Islam tetap dapat melaksanakan kewajiban salat lima waktu tersebut, Rasulullah saw melalui hadis-hadisnya di atas, memberi solusi rukshah (keringanan) dalam bentuk boleh menjamak (menggabungkan) dua waktu salat ke dalam satu waktu salat, dan boleh mengqashar (mengurangi) jumlah rakaat salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Sehingga dalam keadaan tertentu seperti istihadhah, kesibukan, mengejar waktu, sakit, khauf (ketakutan), belajar mengajar, atau keadaan yang dirasa perlu menjamak salat seorang muslim dapat menjamak salatnya. Adapun dalam keadaan sebagai musafir dan dalam keadaan peperangan seorang muslim dapat mengqashar (mengurangi) jumlah rakaat salatnya.
Namun lanjut Dr. Zulkarnain, jika kita amati lebih seksama, keluasan solusi rukhshah (keringanan) yang telah diberikan oleh Rasulullah saw berkaitan dengan menjamak salat ini, telah direduksi oleh pandangan dan pemahaman mazhab. Sebagai contoh, reduksi pemahaman mazhab terhadap rukhsah jamak salat ini tercermin dari pendapat yang hanya membolehkan jamak salat ketika menunaikan ibadah haji saja, itupun hanya boleh dilakukan di Padang Arafah dan Muzdalifah. Padahal riwayat-riwayat dari nabi menunjukkan lebih dari itu.
Demikian juga dengan sebagian pandangan tentang menjamak salat dalam keadaan hadhar (mukim; tidak bepergian) tanpa sebab apapun, di reduksi dengan cara menghadirkan illat (sebab), yaitu kondisi hujan atau sakit, terkesan kuat ingin mengelak dari realitas matan (isi hadis) yang ada, yang dengan jelas menyebutkan, “bahwa Nabi saw menjamak salat dalam keadaan hadhar, bukan karena takut dan bukan pula karena hujan” (fi ghairi khauf wa la mathar), karena Nabi saw tidak ingin memberatkan umatnya. Reduksi pemahaman hadis tersebut menurut Dr. Zukarnain, justeru menghilangkan elastisitas hukum Islam dalam mensikapi dan merespon perkembangan sosio-kultural masyarakat.
Begitu pula, terdapat pandangan yang menawarkan pemaknaan “jamak shuri” (jamak simbolis, kiasan), yaitu mengerjakan salat di ujung waktunya dan langsung menyambung dengan salat berikutnya di awal waktunya. Mereka mengatakan bahwa jamak salat yang dilakukan Nabi saw dalam keadaan hadhar tersebut bukan jamak salat, melainkan mengakhirkan waktu zuhur dan menyegerakan waktu ashar, mengakhirkan waktu maghrib dan menyegerakan waktu isya. Pemahaman ini, juga telah mereduksi hadis-hadis Rasul saw yang nyata shahih dan maqbul berkaitan dengan jamak salat, tanpa perlu ditakwilkan dengan “pura-pura jamak” seperti itu.
Penjelasan para ulama ini, jika kita terapkan pola bayani dalam metodologi penalaran fikih, menjadi sangat lemah untuk diterima sebagai sebuah argumentasi yang logis. Karena matan hadis tersebut dengan kalimat “jama’a rasulullah saw” (Rasulullah saw telah menjamak salat). Kata “jama’a” (menjamak) jelas berbeda dengan kata “akhara” (mengakhirkan) dan “ajjala” (menyegerakan).
Dengan demikian, simpul Dr. Zulkarnain, reduksi pemahaman dengan berbagai alasan yang dikemukakan terhadap jamak salat dalam keadaan hadhar, telah memperlemah daya elastisitas hukum Islam dalam merespon dan memberi jawaban terhadap persoalan kekinian, berkaitan dengan kondisi yang dihadapi umat pada saat-saat tertentu dari kehidupan mereka.
Sebab realitas sosiologis dan budaya masyarakat muslim kekinian, untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban salat pada waktunya, dan kondisi seperti itu terus berlangsung sepanjang hari, sepanjang tahun, dan mungkin juga sepanjang hidupnya.
Bagi Dr. Zulkarnain, dengan pola ta’alli (penentuan illat/sebab) terhadap hadis-hadis Nabi saw berkenaan dengan rukhsah salat dalam bentuk menjamak salat dengan berbagai keadaanya, seperti menjamak salat karena istihadhah, kesibukan, belajar mengajar, membutuhkan waktu cepat, musafir (bepergian), dan karena tanpa sebab tertentu yang dikhususkan, maka kita secara penalaran dapat menghubungkan semua problematika kekinian tersebut di atas, dengan kata kunci yang sama dengan penyebab (illat) dibolehkannya menjamak salat oleh Rasulullah saw, yaitu karena masyaqqat (kesukaran/kesulitan). Hal ini sesuai dengan kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan ad-dhararu yuzal (kemudharatan harus dihilangkan).
Berdasarkan ketentuan ini, beliau berkesimpulan bahwa, melalui proses qiyas antara keadaan kekinian menyangkut supir taksi dan karyawan, terjebak macet, penambang, dokter bedah, pilot dan co pilot, mempelai pengantin yang telah dihias dalam resepsi pernikahan, dan lainnya telah mencukupi persyaratan tingkat masyaqqat (kesukaran) yang sama dengan orang yang boleh menjamak salat atas perintah Rasulullah saw, yaitu istihadhah, sibuk, sempitnya waktu, dan seterusnya. Dikarenakan illat yang sama di antara keduanya, maka disimpulkan bahwa hukum dari keduanya adalah sama, yaitu boleh menjamak salat karena hal-hal sukar tersebut.
Dalam kajian syariah di situs NU online juga dijelaskan bahwa sebagian ulama seperti Ibnu Sirrin, al-Qaffal dan Abu Ishaq al-Marwazy membolehkan menjamak shalat walaupun ada di rumah (hadir) dikarenakan kesibukan asal tidak menjadi kebiasaan. Misalnya pengantin baru yang walimatul arusy dan selalu menerima tamu. Dalam Syarah Muslim lin Nawawi Sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini pendapat Ibnu Sirrin , Asyhab pengikut Imam Malik, al-Qaffal, As-Syasyi al-Kabir dari kalangan as-Syafi’i dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ahlul hadits. Sebagaimana dipilih oleh Ibnu Mundzir. (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,41544-lang,id-c,syariah-t,Jama++Shalat+Karena+Kesibukan-.phpx)
Jadi, tak perlu meniru syiah, sunni juga memiliki rukshah yang memberikan elastisitas hukum Islam. Tuduhan salat tiga waktu adalah sesat dan meniru ajaran syiah, jelas salah sasaran, dan mengecilkan metodologi hukum para ulama sunni. (hd/liputanislam.com)