Sejarah Al-Quds (5) : Masa Nabi Sulaiman hingga Nabi Isa
Oleh : Nurcholis Madjid
Terhadap firman itu A. Yusuf Ali memberi komentar, “Rasa aman: sakinah= keselamatan, ketentraman dan kedamaian. Tulisan-tulisan kaum Yahudi belakangan menggunakan kata-kata yang sama sebagai lambang Keagungan Tuhan dalam tabernakel atau kemah yang di situ Tabut disimpan, atau dalam Kuil sesudah didirikan oleh Nabi Sulaiman” (A. Yusuf Ali, h. 99, fn. 283)
Jadi kata-kata shekinah, cognate dengan kata-kata Arab sakinah. Tetapi berbeda dengan persepsi kaum Yahudi tentang shekinah yang serba mitis, mistis dan banyak berbau khurafat (kepercayaan palsu, karena kaum Yahudi percaya bahwa dalam Tabut itulah Tuhan bersemayam sehingga benda itu memiliki kesaktian atau kekuatan supranatural), ajaran dan pandangan Alquran tentang sakinah tidak lebih daripada rasa aman dan tentram dalam jiwa kaum beriman karena adanya simbol atau ayat Allah pada mereka, dan karena Allah menganugerahkan perasaan itu kepada mereka sebagai persyaratan amat penting untuk keberhasilan dan kemenangan dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Dalam pengertia inilah perkataan sakinah juga digunakan dalam beberapa ayat yang lain, khususnya berkaitan dengan peperangan kaum beriman di bawah pimpinan Nabi saw seperti dalam peristiwa pembebasan Makkah dari kaum musyrik (Q.S. al-Fath : 4; at-taubah: 26 dan 40).
Cerita Yahudi yang serba mitologis tentang Tabut dalam hubungannya dengan pandangan mereka mengenai shekinah itu penting sekali. Sebab ada indikasi bahwa Nabi Sulayman as bahkan sejak ia meletakkan Tabut itu di Kadesh dalam kuil (Masjid Aqsha), menaruh keraguan tentang apa arti Tabut itu bagi Bani Israil atau kaum Yahudi. Keraguan itu agaknya timbul pada Nabi Sulaiman as karena dilihatnya kaumnya mulai menyembah Tabut itu sendiri dan lupa bahwa ia hanya sebuah kotak, meskipun dianggap suci, sebagai tempat menyimpan naskah Sepuluh Perintah. Memang Nabi Musa as hampir lima abad yang lalu (sebelum masa Nabi Sulaiman as) mengajari kaumnya untuk bersembahyang dalam tabernakel dan menjadikan Tabut itu sebagai kiblat. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan mereka agar tetap berpegang kepada makna dan semangat Sepuluh Perintah yang naskah aslinya disimpan di dalamnya, bukan untuk mengagungkan dan menyembah Tabut itu sendiri.
Karena sikap Nabi Sulaiman as itu maka ia nampaknya mulai meragukan manfaat Tabut, dan agaknya ia kemudian mengambil sikap tidak peduli lagi atas keselamatannya. Akibatnya ialah, setidaknya demikian menurut suatu versi, Tabut itu hilang atau dipalsukan (sedangkan aslinya dibawa keluar Yerusalem entah oleh siapa dan kemana). Karena sikap Nabi Sulaiman ini, maka di kalangan sementara Bani Israil berkembang “desas-desus” bahwa Nabi Sulaiman as telah murtad dan mengizinkan penyembahan berhala di Kuilnya sebagai konsesi kepada beberapa isterinya yang kafir (pagan), sebagaimana kelak ditulis dalam Perjanjian Lama (Kitab Raja-Raja Yang Pertama, 11: 4-5). Cukup menarik bahwa Alquran juga menyebutkan adanya tuduhan oleh kaum Yahudi bahwa Sulaiman telah menjadi kafir, tetapi tidak berkaitan dengan sikapnya yang nampak tidak begitu hormat lagi kepada Tabut, melainkan dengan masalah sihir yang mulai berkembang di sana saat itu, dan Alquran membantahnya (Q.S. al-Baqarah : 102). Apa pun yang terjadi, Tabut itu memang kemudian hilang, dan sampai sekarang belum diketahui dengan pasti di mana ia berada. Dan ada indikasi bahwa ia hilang sudah sejak Nabi Sulaiman itu sendiri (yang tampil pada 970-931 SM). (hd/liputanislam.com)
[i] Lihat Grant A. Jeffrey, Armageddon, Appointment with Destiny (New York: Bantam Books, 1990) h. 224.