Mengapa Jihadi-Takfiri Mengancam Demokrasi Indonesia

0
1168
Syeikh Al Assir, salah satu ulama takfiri

Syeikh Al Assir, salah satu ulama takfiri

Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan Ustadz Fuad al-Hazini (Majelis Syariah JAT)

Istvan Meszaros (1989) mengatakan bahwa suatu hal yang jelas di dalam masyarakat kita adalah bahwa semua hal telah ‘tercelup ideologi’ baik kita sadari atau tidak. Ideologi adalah serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik. Ideologi secara umum mengandung serangkaian pemikiran, keyakinan dan tindakan yang dimiliki secara bersama oleh suatu komunitas. Ideologi biasanya diawali dengan pandangan dunia (world view), yakni bagaimana seseorang atau komunitas tersebut menggambarkan dunia dalam benak mereka. Tentu saja, gambaran dunia itu di susun oleh elite intelektualnya yang kemudian ditransfer kepada para anggotanya. Karena itu, ideologi bersifat socially shared yang terbentuk melalui proses sosial yang penyebarannya melalui bahasa lisan maupun tulisan, yang dengannya orang memberi makna pada realitas sosial tertentu.

Beberapa waktu yang lalu, situs Arrahmah.com menurunkan artikel singkat tentang Fakta Gerakan Jihadi di Indoensia, yang ditulis Ustadz Fuad al-Hazini dari Majelis Syariah Ansharut Tauhid. Melihat kedudukan Ustadz Fuad al-Hazini tersebut, maka jelas bahwa beliau termasuk kalangan elit intelektual yang bertugas mentransfer pemahaman kepada anggotanya untuk menggambarkan realitas tertentu, yang dalam hal ini, ideologi dan realitas gerakan jihadi di Indonesia. Untuk itu patut mendapat perhatian semestinya.

Tulisan Ustad Fuad dimulai dari memetakan masalah gerakan jihadi. Menurutnya ada empat fakta masalah gerakan jihadi di Indonesia, yaitu : 1. Sibuk mengkafirkan antar sesama harakah. 2. Masing-masing pihak merasa paling jihady. 3. Menganggap yang di luar kelompoknya adalah salah, ahlul bid’ah bahkan anshorut thoghut atau antek kuffar. 4. Kita tidak sadar bahwa kita sedang diadu domba dan musuh-musuh Islam sedang bertepuk tangan menyaksikan programnya sukses.

Kalau dicermati, apa yang disebutkan Ustadz Fuad di atas, bukanlah hal yang mengejutkan, karena, memang ideologi dan sifat gerakan jihadi adalah takfirisme—suka mengkafirkan pemahman yang berbeda dengannya—dan merasa benar sendiri. Karena itulah, dalam satu kelompok gerakan jihadi, jika ada yang menurutnya tidak sesuai dalam kelompoknya maka akan membuat kelompok baru dan menganggap yang lainnya menyimpang bahkan telah kafir. Maka wajarlah, jika sedikit saja ada perbedaan atau penyimpangan gerakan, dengan mudah mereka melemparkan tuduhan salah, sesat, ahli bid’ah, dan bahkan kafir. Bukankah selama ini mereka sibuk mengkafirkan orang-orang yang tidak sealiran dengan mereka? Jadi, Ustadz Fuad semestinya sadar bahwa kondisi yang terjadi itu adalah resiko dari ideologi dan sikap yang mereka anut sendiri.

Hanya saja, untuk menutupi kerapuhan dan kekeliruan ideologi takfiri-nya tersebut, Ustadz Fuad mengalihkannya dan mencari kambing hitam penyebab terjadinya perpecahan di kalangan mereka kepada “rekayasa musuh” yang ingin mengadu domba gerakan jihadi takfiri seperti disebutkannya pada poin 4 di atas.

Jika Ustadz Fuad sadar bahwa musuh-musuh Islam mengadu domba umat Islam, lantas mengapa kelompoknya dengan mudah mengkafirkan umat Islam lainnya? Bukankah itu berarti Ustadz Fuad dan gerakan jihadi lainnya sedang mencari musuh dalam tubuh umat Islam sendiri? Semestinya gerakan jihadi di Indonesia mengembangkan Islam yang ramah, toleran, dan menjauhi sikap takfirisme yang hanya memancing konflik sektarian dan merusak integrasi bangsa. (Nur el-Fikri/LiputanIslam.com)

(bersambung ke bagian kedua)

DISKUSI: