Mendidik Anak Mengenal Jin
Dengan ini, anak-anak telah mencitrakan jin/setan sebagai wujud menyeramkan dan bisa memberikan kecelakaan bagi dirinya. Uniknya, hal ini tetap terbawa sampai ia memasuki sekolah bahkan sampai masa kanak-kanak akhir, usia 12 tahun. Akan tetapi jika kita lihat secara umum, bahkan hal ini melanda juga orang-orang dewasa, yang mana mengalami trauma ketakutan terhadap sosok jin, setan, hantu dan sejenisnya. Jika kita telusuri, semua trauma itu diperoleh mereka sejak masih kecil. Ini artinya, gambaran yang diperoleh sejak anak masih usia dini sangat sulit dihapus dari pita rekaman benaknya.
Bagi anak-anak yang usianya di bawah sembilan tahun, setan menjadi lambang kejahatan yang sangat ditakuti anak dan akan mendatangi mereka jika mereka berbuat nakal. Namun, seiring dengan menanjaknya usia anak, ia mulai memahami bahwa jin itu tidak dapat di lihat, meskipun keyakinan akan keberadaannya tetap melekat kuat dalam benak anak, sehingga dapat dijadikan pengawal tingkah laku anak.
Penggunaan jin/setan sebagai ‘teror perasaan’ anak menimbulkan dua sikap yang negatif pada anak-anak yaitu rasa takut dan kecemasan. Rasa takut terekspresikan dengan kegelisahan dan kebingungan pada anak bahkan pada sebagian anak berdampak pada kurangnya rasa percaya diri. Banyak anak mengaku tidak berani ke tempat-tempat sepi sendirian di malam hari seperti ke dapur, kamar mandi, dan keluar rumah.
Adapun rasa cemas berasal dari dirinya sendiri (inner factor) yang disebabkan khayalan atau imajinasinya yang negatif membentuk lebih dalam sosok jin/setan yang menakutkan tersebut. Khayalan anak semakin melanglangbuana dan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain seperti tempat yang angker, kuburan, dan kematian, sehingga semakin memperparah kecemasan yang telah menuai bibitnya pada diri anak.
Akan tetapi, pada sebagian kasus, anak-anak terlihat senang melihat film-film yang menampilkan sosok-sosok menyeramkan seperti jin/setan. Bagi mereka tontonan ini, menakutkan sekaligus mengasikkan. Dalam suatu penelitian disimpulkan bahwa kondisi tersebut, lebih mencerminkan sekedar pola kebiasaan menonton yang ada dalam keluarganya daripada mengekspresikan keberanian anak. (hd/liputanislam.com)