Memimpin adalah Menderita
Oleh: Dewi Yulia
Berita-berita mengenai aksi Pansus Hak Angket KPK, yang dibentuk DPR, yang mengunjungi para koruptor di penjara membuat saya teringat pada kisah seorang pahlawan Indonesia yang memperjuangkan dibentuknya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Beliau adalah Haji Agus Salim (HAS).
HAS adalah tokoh asal Minang yang dikenal jenius, ahli orasi, dan sangat pandai menulis, kelahiran 1884. Pada tahun 1915, HAS memulai perjuangan melawan penjajah melalui kekuatan penanya, yaitu dengan menjadi redaktur di harian Neratja. Kemudian , ia bahkan mendirikan koran sendiri, bernama Fadjar Asia. HAS juga terjun ke dunia politik dengan bergabung dalam Sarekat Islam. HAS sempat menjadi anggota Volksraad (semacam DPR/MPR) sebagai perwakilan dari Sarekat Islam dan selama itu dia dengan berani mengecam tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang menyengsarakan rakyat. Ia juga menuntut kepada pemerintah Belanda agar Indonesia diperbolehkan mendirikan Dewan Perwakilan Rakyat yang sesungguhnya, bukan seperti Volksraad yang hanya sekedar upaya pemerintah Belanda untuk mengetahui opini publik. Dalam DPR yang sesungguhnya, perwakilan rakyat berhak dan bertugas membuat undang-undang yang melindungi kepentingan rakyat, sementara dalam Volksraad, hak itu tidak ada.
Setelah melewati berbagai perjuangan, HAS (dan para pejuang kemerdekaan lainnya) akhirnya berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945. HAS pun mendapatkan jabatan yang mentereng, antara lain Wakil Menteri Luar Negeri dan Menteri Luar Negeri, dan mengunjungi berbagai negara sebagai diplomat mewakili Indonesia. Ia bahkan hadir dalam acara pelantikan Ratu Elizabeth II di Inggris.
Namun, siapa sangka bahwa kehidupannya tetap bersahaja, bahkan cenderung miskin? Dikisahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup, HAS rela berjualan minyak tanah, padahal ia pernah menjabat sebagai Menlu dan Duta Besar Indonesia di PBB. Dia tinggal di rumah kontrakan dan menemui diplomat-diplomat Eropa dengan jas yang ada jahitan di sana-sini untuk menutupi kekoyakan. Mengapa ia menjalani hidup demikian? Mengapa tak digunakannya jabatannya untuk mendapatkan rumah yang layak bagi keluarganya?
“Memimpin adalah menderita, bukan menumpuk harta,” demikian kata HAS menjawab pertanyaan itu.
Dalam riwayat Islam, nama Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat dikenal sebagai teladan kesederhanaan. Dia tak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mencari uang. Bahkan uangnya jauh berkurang ketika meninggal dunia.
Abu Ja’far al-Manshur pernah bertanya kepada Abdul Aziz (putra Umar bin Abdul Aziz), ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?”
Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu dinar.”
Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?”
“Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang,” kata Abdul Aziz.
Bila kita bandingkan etos kepemimpinan HAS dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan para caleg yang stress itu, sungguh bak bumi dan langit. Para caleg itu telah mengeluarkan modal besar untuk kampanye, bayar mahar, dan bayar sana-sini, demi terpilih menjadi anggota DPR. Apa yang mereka harapkan? Sudah tentu ingin balik modal, kalau bisa berlaba besar. Ketika impian tak tercapai, bak orang kalah judi, jiwa mereka terguncang dan masuk rumah sakit jiwa. Sungguh jalan hidup yang sia-sia belaka.
Thaher bin Husain pernah menulis surat kepada anaknya, Abdullah, yang akan menjadi pemimpin (wali negeri) di Riqqah dan Mesir, “Shalat itulah yang diutamakan lebih dahulu di dalam memegang pemerintahan. Sebabnya maka itu ayah suruh mengutamakan shalat lantaran Allah telah berfirman, bahwasanya shalat itu adalah pencegah perbuatan yang keji dan yang munkar, sehingga tertolaklah bala kemungkaran dari pekerjaan itu darimu dan rakyatmu. Kemudian itu hendaklah engkau kerjakan sunah Rasulullah dan ikuti contoh-contoh dari salaf yang saleh sesudah Rasul.”
Bagaimanakah sunnah Rasulullah SAW dalam memimpin? Mari kita kenang kisah berikut ini.
Suatu hari, para sahabat mendapati Rasulullah SAW mengikat perutnya dengan kain; di dalam kain itu ada batu-batu tipis. Para sahabat bertanya, mengapa beliau melakukan hal tersebut. Ternyata Rasulullah melakukannya demi menahan lapar.
Umar bin Khatab r.a. berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya saja Engkau memberitahu kami, tentu kami tidak akan tinggal diam.”
Rasulullah menjawab dengan lembut, “Tidak, wahai sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi diriku. Tetapi, bagaimana aku menghadap Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin menjadi beban bagi umatnya?”
Para sahabat pun terdiam. Rasulullah melanjutkan, “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat kelak.” (LiputanIslam.com)