Buya Syafii Maarif : Etik Alquran dan Etik Golongan
Oleh : Buya Syafi’i Ma’arif*
Umat Islam yang bertebaran di permukaan bumi ini menempati posisi-posisi strategis bila dilihat dari geo-politik maupun dari sudut sumber-sumber alam. Tapi posisi strategis ini tampaknya belum dimanfaatkan secara strategis oleh umat ini untuk mencapai tujuan-tujuan Islam yang juga sebenarnya merupakan tujuan kemanusiaan. Di antara tujuan itu ialah tercapainya suatu dunia yang manusiawi di atas landasan moral wahyu. Dunia yang manusiawi ini harus dapat diuji dengan pengalaman empiris kita dalam bentuk tegaknya prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan dan toleransi (Q.S. Al-Hujurat : 10, 13 dan 15; An-Nisa : 58; Al-Nahl : 90; Al-Maidah : 8; Al-Zumar : 18; Al-Baqarah : 256).
Prinsip-prinsip mulia ini sering benar menghilang dari kehidupan umat, hingga Islam dilihat orang tampil dalam periode-periode tertentu dalam sejarah dengan wajah bopeng, jauh dari anggun. Di antara sebab utama mengapa situasi memudar ini kita derita ialah karena dasar etik yang kita pedomani dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah sepenuhnya etik Alquran, tapi lebih banyak etik golongan, suku, bangsa dan kelompok kepentingan. Dan kita pun berbangga dengan etik yang anti nilai Alquran ini. Dalam Q.S. al-Rum : 32 dan Al-Mukminun : 53, Alquran jelas-jelas mengkritik sikap bangga golongan ini, “Tiap golongan berbangga diri dengan apa yang ada padanya.”
Ayat ini bila terlepas dari konteksnya dapat saja orang menafsirkan bahwa Alquran seakan-akan membenarkan sikap berbangga dengan golongan itu. Tapi tafsiran serupa itu adalah tafsiran zalim terhadap Kitab Suci ini. Salah satu akibatnya ialah melandanya perpecahan yang terus menerus diderita oleh umat ini. Masing-masing kelompok umat telah kehilangan kemampuan dan kesediaan untuk berdialog secara intens sesama mereka. Etik golongan adalah pangkal sebab dari kecelakaan sejarah ini. Maka tidaklah sulit untuk dicari latar belakangnya mengapa Alquran sudah sejak periode ini membabat akar etik suku-golongan ini dan digantikan oleh etik iman yang bernilai universal. Tragisnya ialah bahwa etik golongan ini pada saat Alquran tidak lagi kita pedomani secara ikhlas menjadi dominan kembali dalam kehidupan kita. Perpecahan yang kita derita selama berabad-abad belum cukup untuk membuat kita jera dengan etik golongan ini. Jika demikian halnya, umat apakah kita sebenarnya? Hati nurani kita sudah tumpul, dan Alquran kita dekati dengan sikap basa-basi.
“Ya Rasulullah, sekiranya engkau menyaksikan umatmu yang berserakan ini, komentar apakah gerangan yang akan meluncur dari mulutnya yang manis dan bijak itu? Khotbahmu pada waktu haji perpisahan tentang prinsip keadilan, persamaan dan martabat manusia sering benar dilecehkan umat ini dalam perjalanan sejarah mereka.”
Akhirnya, tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi arti ringan kepada golongan/organisasi Islam yang ada. Yang hendak ditegaskan ialah bahwa ukhuwah islamiyah hanyalah mungkin terwujud di antara berbagai golongan Islam yang ada bila etik Alquran, bukan etik golongan, kita jadikan satu-satunya pedoman dasar dalam setiap kegiatan kemasyarakatan kita. (hd/liputanislam.com)
* Syafi’i Maarif adalah Cendekiawan Muslim Indonesia, Mantan Ketua PP Muhammadiyah, dan Pendiri Maarif Institut. Tulisan di atas diambil dari buku karya beliau, Membumikan Islam, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995, hal. 33-35.