Mengapa Israel Tak Ingin Berperang Atrisi dengan Iran?
LiputanIslam.com – Belakangan ini dikabarkan bahwa empat roket meluncur dari Suriah menuju sasaran di wilayah Israel, dan kemudian Israel membalasnya dengan menggempur beberapa posisi di dekat Bandara Damaskus, ibu kota Suriah, yang lantas direaksi secara efektif oleh Pertahanan Udara Suriah. Peristiwa ini merupakan satu perkembangan di mana Poros Resistensi mulai menerapkan kebijakan ofensif.
Suriah masih menjadi ujung tombak dan ancaman besar bagi Israel karena Suriah didukung bukan hanya oleh Iran, melainkan juga Hizbullah di Libanon selatan, Gerakan Jihad Islam di Jalur Gaza, Ansarullah di Yaman, dan Al-Hashd al-Shaabi di Irak. Karena itu tak jarang terjadi serangan Israel ke Suriah.
Serangan Israel ke Suriah semula menyasar posisi-posisi Iran, atau gudang dan konvoi senjata canggih yang dikirim Iran kepada Hizbullah di Libanon. Tapi kali ini serangan Israel dipicu oleh serangan roket yang ditembakkan dari Suriah ke Dataran Tinggi Golan, pertanda bahwa bisa jadi sudah mulai ada pendahuluan ataupun persiapan untuk pembukaan front untuk tahap mendatang, di mana jika perkembangan sekarang menjurus pada perang maka Israel terkepung dari tiga arah perbatasannya di timur, utara, dan selatan.
Baca: Israel Bersiaga Mengantisipasi “Serangan Balasan” Iran
Menariknya, Menlu Israel Israel Katz belum lama ini mengingatkan Iran bahwa negara Zionis itu “bukan Saudi, dan tidak akan pernah terseret kepada perang atrisi”. Pernyataan ini mengacu pada asumsi bahwa Iran dan sekutunya melancarkan perang atrisi terhadap koalisi Arab yang dipimpin Saudi dalam Perang Yaman, dengan melepaskan rudal-rudal balistik ke kota-kota besar Saudi semisal Riyadh, Jeddah, Khamis Mushait, dan Abha.
Selanjutnya, terjadi pula peluncuran drone dan rudal-rudal cruise yang menerjang fasilitas minyak Aramco di Abqaiq dan Khurais serta ladang minyak al-Shaibah hingga menjatuhkan separuh volume produksi minyak Saudi. Peristiwa ini mendorong AS mengirim 3000 tentaranya yang dilengkapi berbagai peralatan mutakhir untuk melindungi Saudi, sementara Saudi sendiri diam-diam terpaksa mengadakan pembicaraan dengan kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) untuk gencatan senjata dan menyudahi Perang Yaman.
Baca: Pentagon Sebut Kekuatan Rudal Iran Terbesar di Timteng
Pernyataan Katz mengenai perang atrisi melawan Iran-Suriah itu tentu bukan salah ucap. Jika kita tarik ke belakang dan melihat serangan ratusan roket kelompok pejuang Gerakan Jihad Islam Palestina, sekutu terkuat Iran di Jalur Gaza, ke berbagai permukiman Zionis dan kota-kota Eshdod, Eshkelon, Sderot, dan Tel Aviv di Israel (Palestina pendudukan 1948) dalam jangka waktu dua hari sebagai balasan atas serangan Israel yang menggugurkan komandan senior Brigade Quds, sayap militer Gerakan Jihad Islam, maka akan tampak betapa serangan ini telah melumpuhkan detak nadi ekonomi Israel, memaksa sekira separuh penduduk mencari tempat perlindungan, dan membebani Israel dengan dana lebih dari US$ 1 miliar. Hal ini membuat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendesak Mesir agar memediasi pemberlakuan gencatan senjata.
Jika Poros Resistensi memutuskan untuk mengobarkan perang atrisi maka ini berarti bahwa semua kelompok militer yang berbaris di dalamnya akan termobilisasi ke medan tempur, terlebih Hizbullah yang menyimpan lebih dari 150,000 rudal yang banyak diantaranya merupakan rudal berpresisi, dan bukan tidak mungkin Gerakan Ansarullah di Yaman juga akan turut berlaga dan keluar dari perundingan rahasianya dengan Saudi, dan Hamas di Jalur Gaza pun mengakhiri kebijakan menahan diri, terutama setelah AS blak-blakan menyokong proyek permukiman Zionis di Tepi Barat.
Bahwa Iran dewasa ini sedang dibelit masalah gelombang unjuk rasa di Libanon dan Irak, hal ini bukan saja kendala bagi Iran, melainkan justru membuka kemungkinan Iran untuk cenderung segera berkonfrontasi dengan Israel demi meredakan gelombang itu atau mengalihkan perhatian publik darinya, apalagi Pemimpin Besar Iran Grand Ayatullah Sayid Ali Khamenei juga menegaskan bahwa AS, Israel, dan negara reaksioner regional (Saudi dan sekutunya) berada di balik upaya merongrong pemerintahan Iran dari dalam wilayah Iran.
Baca: Ayatullah Khamenei: Iran Kalahkan Musuh dalam Insiden Keamanan
Kemungkinan ini juga didukung beberapa perkembangan lain sebagai berikut;
Pertama, pengumuman resmi AS bahwa kapal induk Abraham Lincoln telah memasuki Selat Hormuz untuk mengambil posisi di Teluk Persia. Kapal raksasa itu semula dari larikan ke Laut Oman sejauh 800 kilometer agar tak terjangkau oleh rudal maritim Iran.
Kedua, penahanan kapal Korsel oleh Ansarullah di Laut Merah selama dua hari.
Ketiga, Raja Salman dari Arab Saudi yang semula lama bungkam belakangan ini angkat bicara bahwa senjata Iran telah digunakan dalam serangan ke fasilitas minyak Aramco, bahwa Saudi selama ini telah diserang dengan 286 rudal balistik dan 289 drone, dan bahwa Iran hendaknya menyadari sedang berhadapan dengan pilihan-pilihan serius dengan segala resikonya yang berat.
Baca: Raja Saudi: Senjata Iran Digunakan Dalam Serangan ke Fasilitas Aramco
Keteguhan negara Suriah dan keberhasilan tentaranya merebut kembali sebagian besar wilayah yang semula berada di luar kendalinya, dan kekandasan rencana AS untuk memecah Suriah tentu menimbulkan kegamangan pada Israel dan meruntuhkan segala sesuatu yang selama ini dipertaruhkan oleh kaum Zionis, apalagi ketika lebih dari 230 serangan Israel di kedalaman wilayah Suriah dalam tujuh tahun terakhir ternyata tak kunjung dapat mengakhiri kehadiran Iran dan tidak pula mencegah suplai rudal berpresisi Iran kepada Hizbullah hingga kekuatan kelompok pimpinan Sayid Hassan Nasrallah ini berlipat ganda.
Karena itu, aturan main dalam konflik Poros Resistensi melawan Israel hampir pasti sudah bergeser ke posisi yang tidak menguntungkan Israel dan penyokong utamanya, AS. (mm/raialyoum)