Pergeseran Makna Jihad Ke Terorisme
Perkembangan berbagai konsep jihad sejak era kenabian hingga era kontemporer menunjukkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya jihad telah dimaknai secara kompleks sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi para penafsir. Pada era kenabian, jihad merupakan perjuangan yang cakupannya sangat luas, termasuk berjuang mempertahankan diri dan kebebasan memeluk Islam dari serangan musuh Islam.
Pada era ekspansi teritorial khilafah, jihad ditafsirkan sebagai ideologi perang opensif oleh penguasa untuk menjustifikasi kepentingan ekspansionis. Kaum agamawan sektarian yang fanatik secara subjektif juga dapat menafsirkannya guna melegitimasi perang melawan sekte Islam yang lain. Misalnya, ulama wahabi menggunakan konsep jihad untuk menjustifikasi serangan terhadap syiah dan para penganut bid’ah; khawarij menggunakannya untuk melawan kelompok pro tahkim pada era Ali bin Abi Thalib; dan para penguasa menggunakannya untuk menyerang berbagai kelompok yang dituduh zindiq.
Pada masa Dinasti Umayyah, ketika kaum muslimin mengalami degradasi moral dan krisis spiritual, para mistikus muslim menafsirkan ayat-ayat jihad secara esoterik guna membangun kembali fondasi etik dan moral umat yang tengah rapuh. Para sufi merasa bahwa kemenangan perang fisik di sejumlah wilayah yang diikuti oleh melimpahnya kekayaan hasil rampasan perang telah membuat umat Islam terjerumus ke dalam hedonisme dan materialisme.
Di sisi lain, perang internal yang berdarah-darah antar sekte Islam yang muncul karena persoalan politik duniawi telah menyebabkan umat Islam mengabaikan aspek rohani yang sangat penting bagi kebersihan jiwa manusia. Melihat realitas tersebut, para sufi menyuarakan revolusi spiritual (tsawrah ruhiyyah) yang menekankan pentingnya jihad akbar melawan hawa nafsu yang merupakan musuh sejati setiap insan.
Sebagaimana negara membutuhkan benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan musuh eksternal, jiwa manusia memerlukan penempatan batin dan riyadhah (tirakat) sebagai benteng pertahanan dari berbagai godaan laten setan. Jiwa manusia hanya akan bahagia di dunia dan akhirat jika dibersihkan dari kebencian, permusuhan, ketamakan, kesombongan, cinta dunia, dan kotoran-kotoran hati lainnya. Umat Islam harus ber-jihad akbar dalam medan perang spiritual untuk mewujudkan asketisme, rasa saling mengasihi, persaudaraan, solidaritas, dan saling menghargai yang berbasis pada kerendahan hati.
Jihad dalam perspekstif sufistik memang terkesan melankolis dan nir-kekerasan, tetapi kondisi sosio politik yang datang silih berganti menuntut adanya pembacaan baru terhadap konsep jihad. Ketika perang salib meletus dan serangan bangsa Mongol meruntuhkan Baghdad, ulama memobilisasi umat Islam untuk berjihad secara defensif untuk melawan musuh yang menduduki wilayah kaum muslimin.
Kemudian, ketika tampuk kekuasaan dan supremasi hukum dikendalikan oleh orang-orang Mongol, Ibn Taymiyah menyerukan jihad opensif memerangi penguasa yang tidak menjalankan syariat Islam. Saat itu, jihad tidak lagi berkonotasi membela diri dari serangan, tetapi sebagai kendaraan politik dalam rangka menerapkan syariat formalistik.
Konsep jihad yang bernuansa politis ini pada era modern di adopsi oleh Sayid Quthb, Abdus salam Faragh, dan gerakan muslim guna mendelegitimasi demokrasi yang dianggap sebagai sistem thagut dan memaksakan pendirian khilafah Islamiyah yang telah runtuh setelah gerakan sekularisasi Turki oleh Kemal Attaturk.
Konsep jihad kemudian berkembang sebagai ideologi antikolonialisme. Dalam memperjuangkan hal ini, ulama terjun ke lapangan sebagai pejuang kemerdekaan bersama kaum nasionalis melawan kekuatan militer negara-negara kolonial eropa. Jihad anti kolonial ini masih dapat dikategorikan sebagai jihad defensif yang sesuai dengan semangat Alquran.
Namun, pasca kemerdekaan negara-negara bekas jajahan Eropa, muncullah era baru neo-imperialisme yang ditandai dengan intervensi Amerika dan Israel dalam masalah-masalah Timur Tengah. Era ini ditandai dengan adanya perkembangan konsep jihad yang sangat reduktif; kelompok-kelompok militan muslim kontemporer memaknai jihad sebagai aksi-aksi teror dengan target warga sipil dan noncombatans demi mencapai tujuan politik. Jihad teroristik macam ini dilakukan melalui operasi bom bunuh diri yang sangat destruktif dan sadis guna menyebarkan pesan, ancaman, dan ketakutan kepada masyarakat luas.
Ayman az-Zawahiri dan Osama bin Laden, misalnya, menganjurkan seluruh umat muslim yang mampu agar membunuh warga sipil maupun militer Amerika dan sekutunya di mana pun mereka berada. Mereka menilai bahwa Amerika dan sekutunya adalah teroris sebenarnya yang menargetkan pembantaian terhadap warga militer dan muslim di Irak, Afghanistan, Palestina, dan kawasan-kawasan lain. Oleh sebab itulah, kaum muslim pun berkewajiban membalas dengan melakukan serangan teror kepada warga sipil ataupun militer Amerika dan sekutunya.
Pandangan normatif jihad permanen inilah yang dianut oleh gerakan terorisme kontemporer yang mengimani bahwa jihad adalah sebuah keniscayaan permanen dan menafikan dialog antar peradaban. Di Indonesia, norma jihad semacam itu di anut oleh para teroris seperti Imam Samudra sebagaimana tertulis dalam bukunya, Aku Melawan Teroris. Jihad ofensif dinilai sebagai norma landasan teoritis-yuridis bahwa ayat-ayat pedang turun belakangan telah menghapus ayat-ayat toleransi. (hd/liputanislam.com)
*Diolah dari buku karya Irwan Masduqi, Ketika Nonmuslim Membaca Alquran: Pandangan Richard Bonney Tentang Jihad, Yogyakarta : Bunyan, 2013.