Mahmoud Abbas, Sosok Yang Tak Kunjung Berubah
LiputanIslam.com – Pernyataan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pidato pembukaan sidang ke-28 Dewan Pusat Palestina bertema “Al-Quds Ibu Kota Abadi Negara Palestina” di Ramallah, Tepi Barat, yang berlangsung pada 14 – 15 Januari 2018 sangatlah mengecewakan.
Pasalnya, dia sama sekali tidak menyinggung isu-isu utama di mana rakyat Palestina menuntut keputusan tegas, termasuk pencabutan pengakuan atas eksistensi Israel, penghentian koordinasi keamanan dengan Israel, dan pembatalan Perjanjian Oslo. Hal ini membuat keraguan faksi-faksi pejuang semisal Hamas, Jihad Islam, dan Front Rakyat Pembebasan Palestina (PLFP) yang memboikot sidang itu patut dimaklumi.
Dalam pidato itu Abbas telah mengulangi apa yang sudah berulangkali dia katakan dalam berbagai pernyataan sebelumnya, misalnya bahwa otoritas Palestina yang dipimpinnya secara de facto tidak memiliki kewenangan dan bahwa kondisi demikian tidak boleh berkelanjutan. Sayangnya, dia pantang menyinggung keharusan eskalasi intifada dan dukungan kepada kebangkitan rakyat Palestina melawan Rezim Zionis ini.
Dia mengaku kagum kepada intifada Palestina I yang telah menghasilkan pemerintahan otonomi yang bermarkas di Ramallah melalui berbagai konsensi dalam Perjanjian Oslo, dan menyatakan percaya kepada resistensi rakyat secara damai. Tapi pada kenyataannya dia menolak intifada damai maupun bersenjata, dan mengutamakan beberapa aksi protes anti permukiman Zionis yang diikuti hanya oleh puluhan orang.
Kota Al-Quds (Yerussalem) telah dihapus dari prakarsa damai yang dinamai “Deal of The Century”. Al-Quds diganti dengan desa Abu Dis sebagai ibu kota Palestina. Namun Abbas enggan menyebutkan nama Arab Saudi dan Putera Mahkotanya, Mohammad bin Salman, sebagai pihak yang mengusulkan desa Abu Dis sebagai ganti Al-Quds. Abbas juga tidak menjelaskan bagaimana rencana-rencananya dalam menghadapi sepak terjang Israel yang didukung Amerika Serikat (AS).
Menariknya lagi, Abbas mengaku kagum terhadap strategi perundingan nuklir Iran dengan negara-negara besar. Dia seakan hendak membenarkan opsi negosiasi dengan pihak lawan. Sayangnya, Abbas seolah lupa bahwa perundingan nuklir Iran itu berjalan dengan sangat alot dan ekstra cermat huruf demi huruf hingga berhenti di satu titik di mana Iran tak bersedia menuruti kemauan negara-negara besar yang menekannya.
Perundingan nuklir Iran berjalan sedemikian alot sehingga menelan waktu hampir empat tahun, sedangkan perundingan Oslo antara Palestina dan Israel yang dilakukan oleh Abbas sendiri berjalan tergesa sehingga bertahan paling lama hanya empat bulan. Akibatnya, perjanjian yang dihasilkannya menjadi banyak celah dan rentan sehingga otoritas Palestina yang sudah berjalan lebih dari 23 tahun tetap tidak mendapat eskalasi kewenangan otonomi dan perbatasannya. Sebaliknya, permukiman Zionis di Tepi Barat dan Al-Quds membludak hingga sedikitnya tiga kali lipat sehingga jumlah imigran Zionis yang tinggal di sana menjadi hampir 750,000 orang.
Penyelenggaraan sidang Dewan Pusat Palestina di Ramallah merupakan tindakan yang memang sudah direncanakan untuk mencegah partisipasi pihak oposisi dalam pemerintahan Abbas, dan supaya sidang itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru dalam deklarasinya. Dan kalaupun deklarasi ini mengandung penolakan terhadap pendudukan dan Perjanjian Oslo, pencabutan pengakuan atas Israel, dan penghentian koordinasi keamanan dengan Israel, namun dapat dipastikan bahwa semua keputusan itu hanya ada di atas kertas, sebagaimana keputusan-keputusan yang pernah diambil dewan yang sama pada tahun 2015.
Abbas mengaku tidak akan menyelenggarakan sidang Dewan Pusat Palestina di luar wilayah Palestina. Tapi mengapa dia enggan menyelenggarakannya di Jalur Gaza sehingga kawasan yang sudah “terbebaskan” ini seolah negara lain, padahal otoritas Palestina yang terwakili oleh Perdana Menteri Rami Hamdallah telah menerima kewenangan atas semua kementerian dan administrasi dari Hamas.
Pernyataan Abbas menjadi sulit dipercaya, termasuk mengenai penghentian komunikasinya dengan pemerintah AS sebagai protes terhadap keputusan Trump memindah Kedubes AS dari Tel Aviv ke Al-Quds. Sebab, meskipun dia telah menolak pertemuan dengan Wapres AS Mike Pence tapi malah mengundang pihak Konjen AS di Al-Quds pada sidang Dewan Pusat Palestina, yang kemudian tak jadi datang setelah ada protes dari PLFP atas undangan ini.
Untuk kesekian kalinya Abbas menunjukkan keengganannya untuk berubah. Dia masih bersikeras pada pendiriannya menempuh proses negosiasi yang menyengsarakan hanya demi mempertahankan diri dan kroninya di pucuk kekuasaan, dan seolah rakyat Palestina tak berhak memiliki pemimpin selain mereka. (mm)
Sumber: Ray Al-Youm