Haruskah YKS Dieliminasi?
Seorang blogger dari negara tetangga pernah membuat analisis panjang tentang ‘untung rugi’ jika perang antara Indonesia Malaysia terjadi. Dalam tulisannya, blogger tersebut memulai pembahasannya dengan sangat menarik, yaitu melihat karakter rakyat dari kedua negara. Dengan yakin dia berpendapat bahwa rakyat Indonesia adalah sekumpulan kaum yang mudah dihibur dan dibuat terlena dengan sebuah tontonan yang mengocok perut ataupun mampu membuatnya berjoget, sehingga tentu saja, (rakyat Indonesia) tidak akan begitu peduli lagi dengan permasalahan kronis negerinya, kecuali hanya sedikit. Bisa dibuktikan dengan penuhnya tempat konser musik baik penyanyi lokal maupun internasional meskipun dibanderol dengan harga tiket yang tinggi.
Bukan hanya konser live, acara televisi pun begitu digandrungi oleh masyarakat Indonesia, sehingga rela menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan tayangan tersebut. Pendek kata, Indonesia disifati sebagai sosok yang mudah ‘dibodohi’.
Benarkah?
Saat ini marak acara televisi yang jauh dari edukatif, contohnya Yuk Keep Smile. Ironisnya, YKS ini ditayangkan di jam utama dan dalam durasi yang sangat panjang.
“Penontonnya tertawa?” Tentu!
“ Berjoget?” Pasti !
Penonton digiring untuk terus tertawa dan berjoget, dalam kesenangan semu dan lalai segenap permasalahan yang menimpa negerinya. Banjir di Manado, Freeport di Papua, kekerasan atas nama agama di Jawa Timur, kasus korupsi para pejabat hingga hutang kepada IMF yang bertumpuk, EGP, yang penting goyang !
Rijal Pakne Avisa, Dirut Penerbit Imtiyaz dan juga seorang aktivis agama, turut menyuarakan keprihatinannya,
“YKS dan acara semacamnya menampung kegelisahan sebagian masyarakat yang ingin tampil dan ‘masuk tv’. Sebuah gejala narsis yang bagi masyarakat menengah ke atas diwakili oleh Youtube. Atau, dalam skala mikro, hal yang manusiawi ini diwakili oleh menjamurnya tempat karaoke: lokasi privat dimana seseorang mengagumi ‘suara’-nya.
Hanya, karena ‘tv’ lebih magnetik, massif, dan memiliki efek publisitas yang lebih oke, proses penyaluran narsisme lebih kuat. Di sini, khusus pada acara YKS, semakin tampak tolol semakin disukai. Semakin tampak dungu seseorang, semakin ramai ia disoraki. Semakin aneh, semakin heboh.
Gejala ini tampak seragam dengan acara sejenis di berbagai stasiun tv: acara humor slapstik yang berisi sekumpulan manusia yang merasa dirinya lucu.
YKS, acara yang, konon, disukai hingga ratingnya stabil, ditampilkan berjam-jam, meluncurkan parade kedegilan secara ekstravagan. Ini serupa dengan sidang paripurna di sebuah gedung mewah, pada suatu ketika, dengan tensi lawakan tak bermutu dari para anggotanya.”
Tidak heran jika kemudian ribuan orang yang prihatin dengan kondisi ini menandatangani sebuah petisi online meminta tayangan Yuk Keep Smile (YKS) di Trans TV dihentikan. Mereka menganggap tayangan Yuk Keep Smile tidak mendidik.
Rifqi Alfian, yang memulai petisi itu di situs change.org. Rifki merasa acara di Trans TV itu tidak berkualitas karena kerap mengeluarkan kata-kata kasar dan goyangan tidak jelas.
“Puncaknya (tak terbayang kalau ini bukan puncaknya) adalah acara komedi yang sangat tidak berkualitas dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah itu main tebak-tebakan dengan kaki dimasukkan air es atau menyumpal tepung ke mulut lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas yang dilaksanakan full satu jam dan tidak berubah selama beberapa bulan terakhir.
Apalagi goyangannya memakai latar musik yang liriknya vulgar serta mengarah ke gerakan vulgar pula. Tidak hanya itu, acara-acara tersebut ditayangkan di waktu primetime dan tentu saja ini sangat mengganggu dan tidak baik untuk anak-anak yang masih terjaga pada jam tersebut.”
Petisi yang dimulai sejak beberapa hari lalu itu pun mendapat respon positif dari pengguna internet. Ribuan orang telah menandatangani petisi dan memohon dukungan untuk menghentikan acara YKS TransTV. Ini adalah langkah awal untuk bersama-sama memperbaiki tayangan televisi Indonesia. (Liputan Islam/ AF)