Gelombang Demonstrasi Di Iran, Revolusi Jilid II?
LiputanIslam.com – Sejak beberapa hari menjelang tahun baru 2018, tepatnya Kamis 29 Desember 2017, berita adanya demonstrasi mewarnai berbagai media dunia, dan khalayak lantas bertanya-tanya apa yang terjadi di Iran? Apakah sedang terjadi revolusi baru di negara Republik Islam ini?
Iran sebenarnya merupakan negara yang cukup terbiasa menghadapi aksi demo dan protes, namun kali ini kabarnya begitu menggelegar. Pasalnya, selain terjadi di saat negara ini menjadi aktor utama dalam perkembangan isu Timteng, demonstrasi protes terjadi di banyak kota dan daerah dan dengan jumlah demonstran yang relatif besar serta terdengar darinya slogan-slogan kontra-pemerintahan Islam dan kebijakan regionalnya di Timteng, meskipun gelombang demonstrasi pro pemerintahan atau sistem yang berlaku di negara ini jauh lebih merata dan besar.
Demonstrasi protes yang marak di Iran itu tidak lepas dari faktor ekonomi dan politik.
Faktor Ekonomi
Demonstrasi bermula dari Masyhad, dan penyelenggaranya adalah orang-orang yang semula telah mengadakan pertemuan di Teheran, Masyhad dan sejumlah kota Iran lain. Mereka adalah orang-orang yang mengalami bangkrut di lembaga-lembaga keuangan swasta. Mereka semula adalah kalangan yang banyak menimbun keuntungan yang besar, namun runtuh dalam beberapa tahun terakhir.
Aksi demo kemudian meningkat dari hari ke hari setelah pemerintah menyatakan tak bertanggungjawab atas kebangkrutan mereka dengan dalih bahwa mereka bukanlah lembaga-lembaga yang mendapat izin dari Bank Markazi (Bank Pusat) atau pemerintah.
Di provinsi Khuzestan, unjuk rasa semula berkenaan hanya dengan problema pengangguran dan kesulitan ekonomi, di samping berkenaan dengan problema lingkungan akibat pembangunan bendungan.
Di wililayah berpenduduk Kurdi, terutama Sanandaj dan Kermanshah, demo dipicu oleh kesulitan yang dialami oleh kelompok-kelompok yang di Iran disebut “kulbar”, yaitu para kuli yang membawa barang dengan berjalan kaki dari kawasan Kurdistan Irak ke kawasan Kurdistan Iran. Kegiatan membawa barang ini dilarang oleh pemerintah karena banyak terjadi penyelundupan melalui kegiatan ini. Mereka melancarkan aksi protes karena pemerintah tidak menyediakan pekerjaan alternatif.
Di kawasan pelabuhan selatan semisal kota Bushehr dan Bandar Abbas, kalangan pelayar memrotes pencabutan izin masuk membawa barang lebihan bebas cukai setiap kali mereka datang dari luar negeri.
Semua ini terjadi di saat Iran bertahun-tahun mengalami tekanan ekonomi. Sejak Hassan Rouhani menjabat presiden, dia terpaksa memasukkan negaranya ke dalam kontraksi ekonomi untuk menghadapi tingginya inflasi yang mencapai di atas 45 % saat dia menerima jabatan presiden. Pemerintahan Rouhani semula berharap dapat mencapai kesepakatan nuklir, pencabutan sanksi ekonomi Barat, dan pemulihan ekonomi beberapa bulan setelah dia menjabat presiden. Namun, pencapaian kesepakatan itu ternyata mundur sampai tiga tahun, dan setelah itupun Amerika Serikat (AS) ternyata mempersulit proses penerapan pasal-pasal yang diharapkan dapat mengatasi problema ekonomi Iran. Akibatnya, rencana Rouhani memanfaatkan perjanjian itu untuk membenahi kondisi ekonomi gagal. Hanya saja, dalam pemilu terakhir dia masih dapat meyakinkan para pendukungnya bahwa kondisi ekonomi akan membaik. Dia juga berjanji akan mengatasi sanksi-sanki lain “non-nuklir”.
Nyatanya, draf anggaran yang diajukan Rouhani kepada parlemen Majelis Syura Islam setelah dia terpilih lagi sebagai presiden malah menunjukkan bahwa kondisi ekonomi akan semakin memburuk. Meskipun parlemen sampai sekarang belum mengesahkan draf itu tapi tekanan psikologis sudah mewabah sehingga harga-harga barang meroket hanya dalam hitungan hari setelah pengajuan anggaran.
Faktor Politik
Sebagaimana negara-negara dunia pada umumnya, Iran juga diriuhkan rivalitas antarkelompok yang bersaing untuk menduduki tampuk kekuasaan. Di dalam negeri terdapat dua kelompok reformis dan kelompok konservatif yang bersaing, sedangkan di luar negeri terdapat berbagai kelompok yang bahkan kontra sistem pemerintahan republik Islam. Rinciannya ialah sebagai berikut;
Pertama, Oposisi Internal
Setelah Rouhani mengajukan draf anggaran kepada Majelis Syura Islam kubu konservatif mulai melancarkan serangan sengit terhadap draf ini melalui kecaman terhadap sejumlah tokoh dan anggota parlemen dari pihak Rouhani, kubu reformis.
Tapi di sisi lain, kalangan reformis sendiri juga keberatan terhadap draf itu. Mereka kuatir akan berdampak buruk pada popularitas kubu ini dalam pemilu mendatang jika mereka mendukung pemerintah.
Kedua, Oposisi Eksternal
Oposisi eksternal terdiri atas kelompok-kelompok politik Iran yang umumnya berada di luar negeri sehingga praktis pengaruhnya di dalam negeri sangat lemah. Hanya saja, sebagian dari mereka tetap eksis karena mendapat dukungan dana dan fasilitas dari negara-negara yang memusuhi Iran semisal Arab Saudi, Israel, dan AS. Kelompok-kelompok ini utamanya adalah; penyeru kembalinya sistem monarki, Organisasi Mujahidin Khalq (MKO), dan sosialis. Mereka berseberangan satu sama lain, namun mereka sama-sama memiliki sarana propaganda yang sangat besar berupa stasiun televisi dan radio berbasis satelit. Mereka tentu juga mengelola pengaruhnya melalui medsos yang jumlah followernya mencapai lebih dari satu juta akun. Dari sarana-sarana ini mereka tak hentinya berusaha menebar pengaruh, dan upaya mereka menjadi optimal ketika didukung oleh kerajaan-kerajaan media dunia yang berbasis di negara-negara Barat terutama AS dan Inggris.
Ketiga, Gerakan Separtisme
Ketika semua kelompok politik internal dan eksternal konsisten pada integritas Iran, dan semuanya hanya fokus pada perebutan pucuk kekuasaan, ada pula gerakan-gerakan politik entik yang menyerukan disintegrasi dari Iran. Mereka antara lain gerakan-gerakan Kurdi, Arab, Azeri, dan Baluch.
Penunggangan Pihak Eksternal
Sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi protes umumnya digerakkan oleh salah satu kubu politik internal. Gelombang aksi protes yang terjadi belakangan ini juga demikian, dilakukan oleh sebagian kelompok internal dengan maksud menekan Rouhani. Namun, berbagai kelompok politik eksternal serta gerakan-gerakan separatis lantas berselancar di atasnya untuk menggerakkan massa melalui media mereka dan jejaring sosial.
Gelombang protes jelas-jelas dipicu oleh tuntutan penyelesaian problematika ekonomi, tapi dalam tempo yang singkat berubah menjadi gerakan politik yang meggelinding panas sehingga tujuan aksi protes menjadi terpecah dan menyimpang dari tujuan utamanya semula. Di saat kelompok-kelompok politik eksternal dan sebagian kecil pemuda dari kubu reformis mengecam kebijakan dan sepak terjang Iran dalam perkembangan geo-politik Timteng, terlihat betapa sebagian massa demonstran dari kubu konservatif justru merupakan ribuan anak muda pendukung kebijakan tersebut dan bahkan ada yang menjadi relawan dalam perang Suriah.
Massa yang menyerukan penghentian aksi Iran di negara-negara lain tentu saja adalah kalangan yang terpengaruh oleh media oposisi eksternal yang gencar berpropaganda bahwa kekayaan Iran harus digunakan di dalam negeri sendiri selagi kondisi ekonomi masih buruk, dan bahwa ketegangan yang terjadi di kawasan Timteng antara Iran dan negara-negara musuhnya praktis menambah tekanan bagi warga Iran.
Bukan Revolusi Baru
Dengan latar belakang demikian terlihat bahwa gelombang aksi demo protes yang melanda beberapa kota dan daerah di Iran belakangan ini sebab utamanya adalah problematika ekonomi dan rasa frustasi terhadap proses dan upaya penyelesaiannya.
Gelombang protes yang diwarnai kerancuan antara tuntutan politik dan tuntutan ekonomi ini, apalagi tidak didukung dengan pimpinan dan tujuan yang integral paling banter hanya akan membuat pemerintah mengurungkan sebagian keputusannya, atau berusaha menelisik berbagai tekanan yang dihadapi warga di sebagian wilayah untuk meredakan aksi demo. Dan dengan demikian, dugaan bahwa negara ini sedang mengalami revolusi jilid II jelas tak beralasan.
Apa yang terlihat sejauh ini ialah bahwa kelompok-kelompok massa yang terlibat aksi protes gagal memancing kedatangan massa dalam jumlah yang besar ke jalanan, dan sikap pemerintah diperkuat oleh tidak adanya respon publik terhadap gerakan-gerakan dan tuntutan-tuntutan politik yang ada. Yang terjadi malah sebaliknya, kemunculan gelombang demonstrasi tandingan yang jauh lebih besar. (mm)
Sumber: Aljazeera