Paradoks Voluntarisme Gerakan ‘2019 Ganti Presiden’

0
491

Oleh: Teddy Firman Supardi*

Bagaimana kita mendudukkan persoalan seputar gerakan dan tagar ‘2019 Ganti Presiden’? Apakah ini bagian dari aspirasi warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum? Atau, ini bagian gerakan mobilisasi untuk mengumpulkan massa non-partisan untuk mendukung salah satu calon presiden yang sedang bertarung?

Pun jika aktor-aktor yang tampil dalam gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ seperti Neno Warisman, Ahmad Dhani, Mardhani Ali Sera, dan para pimpinan gerakan 212 secara terbuka memiliki afiliasi politik dengan kubu Prabowo, apakah hadir dan masifnya tagar tersebut serta aktor-aktor yang terlibat menjadi penanda politik kosong yang murni sebagai aksi sukarela politik rakyat?

Tentu saja konteks permasalahan dalam tafsir apakah gerakan ini bermotif kampanye atau tidak juga harus diletakkan dalam objektifikasi yang tidak mudah. Peran KPU dan Bawaslu harus juga melihat permasalahan ini dalam logika berpikir yang lebih luas. Jawaban ini tentu saja harus ditelusuri dari mulai konteks dan historis gerakan tersebut.

Barack Obama pada masa awal kampanye sebagai Calon Presiden Amerika Serikat mengatakan bahwa gerakan ‘Yes!We Can!’ merupakan mobilisasi gerakan masyarakat Amerika untuk menyikapi keadaan kepemimpinan nasional pada saat itu. Manajer Kampanye Obama, David Ploufe mengatakan bahwa gerakan masif tersebut tidak memiliki afiliasi secara langsung dengan calon Presiden Barack Obama pada awal-awal pencalonannya. Pemandangan ini tentu saja hampir sama dengan aksi-aksi rakyat dalam gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ yang tentu saja dipelopori oleh oposisi Kubu Jokowi.

Dalam ranah politik praktis yang kompleks seperti pemilihan presiden, membangun kedekatan dengan pemilih bukanlah persoalan mudah. Ditambah lagi persoalan perilaku pemilih di Indonesia yang masih mengedepankan pola-pola transaksional, yang cenderung terjebak dalam hubungan patronase dan klientelisme politik (Muhtadi, 2018).

Persoalan pokok lainnya yang harus digarisbawahi adalah sudah terjawabnya siapa calonpPresiden yang akan maju pada Pilpres 2019. Hanya ada dua pasangan yang akan maju; secara otomatis hanya ada pendukung Jokowi dan Prabowo. Jika ada gerakan-gerakan di luar ini, tentu saja jika bermain pada tataran ruang publik formal, seperti menyerukan boikot pemilu atau gerakan golput, tentu saja diperbolehkan sepanjang masih dalam koridor aturan main yang berlaku.

Tetapi, penanda gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ merupakan simbol politik yang sudah dulu masuk dalam ruang politik yang lebih terbuka. Sudah jelas gerakan ini ingin mengganti presiden –dan calon presiden– selain Jokowi adalah Prabowo.

Beberapa Paradoks

Banyaknya aksi penolakan atas aksi gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ merupakan bentuk adanya respons aktif masyarakat atas posisi dan logika gerakan tersebut. Tentu tidaklah sulit untuk melakukan generalisasi atas gerakan ini. Kosakata “ganti presiden” sudah jelas menjadi titik utama posisi politis gerakan ini. Pada sisi lain, ada beberapa paradoks yang secara terbuka juga ditunjukkan dari gerakan ini. Dalam beberapa pendekatan tentang mobilisasi psikologi massa dalam politik, mobilisasi massa haruslah diberi penanda. Dan, ketika penanda itu sudah menjadi kumpulan massa yang masif, maka dapat digerakkan dengan sentimen psikologis dorongan lainnya.

Pola-pola seperti itu biasanya dilakukan oleh gerakan-gerakan populisme yang secara terbuka membentangkan tema “kami” vs “kalian” untuk mendulang simpati massa. Gejala model kampanye politik seperti ini sangat mudah dilacak dalam fenomena populis Brexit, atau bagaimana Donald Trump menggunakan strategi nasionalisme dari dalam (national identity) sebagai strategi membangun sentimen massa.

Dalam keadaan Pilpres dengan dua calon presiden, pembelahan politik menjadi strategi konvensional yang sebenarnya berpeluang menciptakan potensi konflik sosial dan politik yang lebih terbuka. Para tokoh di balik gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ tentu saja paham bahwa untuk membangun crowd mass dalam tataran tertentu, gejolak psikologi massa anti Jokowi harus diperbesar menjadi kerumunan yang dapat dijadikan penanda politik baru. Logika politik yang digunakan adalah dengan mendorong seluas-luasnya sentimen massa “ganti presiden” untuk dapat menjadi corong psikologi kerumunan massa yang akan disetir dalam satu etos nilai yang sebenarnya sudah jelas terlihat dari beberapa aktor dan penyebaran wacana gerakan ini.

Titik Balik

Demokrasi Indonesia mengalami titik balik yang luar biasa dalam lima tahun belakangan. Pada 2014, terpilihnya Jokowi sebagai presiden membawa angin segar untuk moralitas kepemimpinan sipil di Indonesia. Fenomena voluntarisme pada Pilpres 2014 menjadi modal sosial baru rakyat dalam mobilisasi partisipasi politik di Indonesia. Dari situ pula, sekarang kita menghadapi gempuran digital democracy yang di dalamnya terdapat kompleksitas partisipasi dan informasi politik yang diwarnai adanya persoalan pelintiran kebencian (hate speech) dan penyebaran berita bohong (hoax).

Hari ini berbeda dengan pola voluntarisme pada saat Jokowi hadir dengan mendorong pola politik baru. Masyarakat yang dibentuk dalam voluntarisme yang syarat dengan pembentukan kepercayaan politik dengan arus informasi yang buruk tentu akan berdampak pada marwah kehidupan aktivitas politik warga negara (demos).

Gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ dan ‘2019 Tetap Jokowi’ sama-sama hadir dengan nada yang sama politisnya. Tetapi, keduanya memang menghidupi pembelahan massa hari ini. Bisa jadi, entah siapa yang memiliki agenda gelap dalam demokrasi bisa menumpangi gerakan sentimen massa seperti ini dengan penumpang-penumpang yang justru menjadi parasit dalam demokrasi.

Partisipasi dalam voluntarisme politik haruslah dapat membentuk moralitas partisipasi warga yang sehat dengan mengedepankan perbincangan publik yang berimbang. Tidak boleh ada voluntarisme yang hadir dalam ruang publik kemudian menjadi teror untuk kehidupan publik. Sudah cukup harga persatuan yang terkoyak pada saat Pilkada DKI. Jika model protokoler politik hari ini harus mengeluarkan syarat penyebaran kebencian terhadap lawan politik, maka kita sebagai warga negara yang masih percaya pada etos nilai-nilai demokrasi yang baik wajib adanya merawat akal sehat politik hari ini. Setidaknya untuk tidak terlibat dalam gerakan yang menyebarkan kebencian. (LiputanIslam)

*peneliti dan Direktur Eksekutif Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies) dan associate consultant di Visi Strategic Consulting, disalin dari Detik, 5 September 2018.

DISKUSI: