Menggaungkan Lagi Kesadaran Bangsa Maritim
Oleh: Dedi Gunawan Widyatmoko, SE, MMPol*
Di antara kita mungkin banyak yang tidak tahu atau lupa bahwa ada tanggal penting di bulan September yang perlu kita rayakan dan peringati berkaitan dengan jatidiri kita sebagai sebuah bangsa. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 249/1964, tanggal 23 September ditetapkan menjadi Hari Maritim Nasional. Penetapan 23 September sebagai Hari Maritim Nasional ini merujuk pada Musyawarah Nasional Kemaritiman yang pertama pada 1963 dan penetapan Bung Karno sebagai Nahkoda Agung Indonesia. Kemudian, pada 1964 sejarah mencatat pertama kalinya Indonesia memiliki Kementerian Maritim dengan Ali Sadikin sebagai menteri pertamanya.
Pada level internasional, September juga menjadi bulan penting bagi dunia maritim karena 27 September ditetapkan sebagai World Maritime Day oleh PBB. Pada minggu ke-4 September, berbagai negara maritim di dunia seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat merayakan World Maritime Day ini dengan berbagai program seperti simposium dan seminar. Sekolah-sekolah juga banyak yang mengadakan program kunjungan ke museum maritim nasional mereka.
Masih Kurang
Jika kita melihat catatan sejarah, Kementerian Kemaritiman pernah ditiadakan, dan urusan kelautan ditangani oleh beberapa kementerian yang lain sesuai bidang pada era Presiden Suharto. Memasuki era Reformasi, Pemerintahan Gus Dur mulai menggaungkan kembali jatidiri Indonesia sebagai Bangsa Maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berdiri sendiri dengan Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Memasuki Pemerintahan Jokowi, Poros Maritim Dunia dicetuskan dan dibentuklah Kementerian Koordinator Kemaritiman untuk menangani sektor maritim supaya lebih maju, terintegrasi, dan terkoordinasi dengan baik.
Semangat dan kesadaran bahwa Indonesia adalah Bangsa Maritim dengan bukti sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit ini tidak hanya perlu terus digaungkan, tapi juga perlu terus diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan kegiatan-kegiatan nyata seluruh warga negara. Pada level pelaksanaan di lapangan dan pada tataran masyarakat kebanyakan, saya masih melihat betapa kesadaran kita semua sebagai Bangsa Maritim masih sangatlah kurang.
Pada sebuah kesempatan menjadi narasumber pada kuliah tamu tentang kemaritiman di sebuah Fakultas Hukum yang berada di Surabaya baru-baru ini, saya membuka kuliah umum dengan menanyakan kepada mahasiswa peserta kuliah yang berjumlah sekitar 100 orang: berapakah jumlah pulau yang dimiliki Indonesia? Tidak ada yang menjawab dengan mendekati jawaban benar. Saya memang tidak berharap jawaban dengan jumlah tepat, karena data resmi pemerintah terus berkembang sesuai hasil pemetaan terbaru. Tapi, saya berharap setidaknya jawaban mendekati jumlah tepat. Rata-rata menjawab di bawah 10.000 pulau. Padahal, data yang benar dari release resmi terbaru pemerintah, jumlah pulau yang dimiliki Indonesia adalah 17.504 pulau. Itulah yang membuat kita menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Selisih jawaban yang mendekati separo sedikit di luar dugaan saya.
Hal lain yang sedikit menggelitik benak saya yaitu tentang kecintaan masyarakat Indonesia akan dunia maritim. Pada saat menghadiri sebuah forum di Perth yang mendiskusikan tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA), seorang narasumber membuka diskusi dengan mengajukan pertanyaan: di antara peserta siapakah yang pernah melakukan aktivitas menyelam di bawah laut? Dan, yang mengejutkan, hanya empat orang (termasuk saya) dari sekitar 100 orang peserta yang mengangkat tangannya. Ini terjadi pada sebuah forum yang mendiskusikan tentang kemaritiman. Bagaimana apabila pertanyaan itu ditanyakan pada forum yang mendiskusikan hal lain? Mungkin tidak ada yang mengangkat tangannya.
Saya jadi teringat obrolan dengan salah satu penumpang warga negara Prancis dalam sebuah penerbangan internasional dari Bandara Soekarno Hatta. Penumpang yang duduk di sebelah saya itu bercerita bahwa dia baru saja menghabiskan masa liburannya di Raja Ampat dengan aktivitas menyelam. Kemudian dia bertanya kepada saya, apakah saya sudah pernah ke Raja Ampat. Saya sangat ingin menikmati indahnya dunia bawah air Raja Ampat, tapi belum berkesempatan. Dia langsung menimpali bahwa hal itu sangat disayangkan. Dia menambahkan bahwa “you have the best diving site in the world” (Kamu punya tempat menyelam terindah di dunia). Sungguh disayangkan bahwa keindahan alam bawah air kita justru banyak dikagumi warga negara lain tanpa kita menyadarinya.
Bagi pembaca yang pernah berkesempatan mengunjungi Kawasan Darling Harbor dan Opera House di Sydney, pasti merasakan aura Australia sebagai Bangsa Maritim. Australian National Maritime Museum selalu ramai dengan warga negara Australia sendiri maupun turis asing walaupun tiketnya lumayan mahal. Penataan kawasan pelabuhan yang bersih dan rapi serta terjaganya lingkungan dengan banyaknya fauna menyatu dengan aktivitas pengunjung menjadi bukti besarnya daya tarik sebuah kawasan pelabuhan yang dikelola sebagai objek wisata kelas dunia. Saya belum melihat kawasan semacam itu di Indonesia. Ada beberapa objek wisata maritim di Indonesia, tapi tidak seramai, sebagus, dan terintegrasi sebagaimana kawasan Darling Harbor dan Opera House, Australia.
Hal-hal tersebut menjadi bukti bahwa masih perlu banyak upaya apabila kita ingin mengulang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai Bangsa Maritim besar di dunia. Tidak hanya pemerintah kita yang perlu membuktikan keberpihakannya pada dunia maritim, tapi perlu upaya bersama-sama dari seluruh warga negara untuk lebih mencintai, peduli, dan mendukung dunia maritim. Dengan begitu dunia maritim akan menjadi semakin maju, dan menjadi industri yang membawa kesejahteraan.
Tak Bisa Sendiri
Sebagus apapun program pemerintah dalam upaya memajukan dunia maritim Indonesia akan tidak banyak hasilnya apabila sambutan masyarakat tidak antusias. Tentu saja pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dalam mewujudkan Indonesia sebagai Bangsa Maritim.
Program pemerintah seperti pembersihan pungutan liar dari aktivitas pelabuhan, penataan manajemen pelabuhan guna mengurangi dwelling time, subsidi ke PT PELNI dan beberapa perusahaan swasta lain yang memenangkan lelang dalam program Tol Laut guna meningkatkan konektifitas antarpulau di Indonesia, program pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, program pembersihan laut dengan memunguti sampah di laut yang digagas oleh banyak instansi pemerintah, dan masih banyak program lainnya yang tidak dapat ditulis satu per satu harus disambut dan didukung oleh segenap komponen masyarakat. Sudah bukan saatnya lagi berpikir sempit dan sektoral dalam menangani laut Indonesia yang memang sedemikian luas, dan tentu saja menyimpan peluang dan tantangan yang sedemikian komplek.
Akhirnya, tentu kita semua berharap bahwa Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang muaranya adalah kesejahteraan masyarakat akan segera terwujud. Persyaratan baik dari tinjauan letak geografi yang strategis (berada di persilangan dunia) dan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia sudahlah terpenuhi. Tinggal perlu kita tingkatkan bersama minat, kepedulian, dan partisipasi kita terhadap bidang kemaritiman. Peran Nahkoda Agung Indonesia memang penting, tapi peran ABK yang tangguh, cakap, bertanggung jawab dan profesional tidaklah kalah pentingnya. Nahkoda tentu saja tidak bisa melayarkan kapalnya sendirian. Mari kita bersama-sama menjadi ABK yang membanggakan dari sebuah kapal besar yang bernama Bangsa Maritim Indonesia. Selamat Merayakan Bulan Maritim! (LiputanIslam.com)
*praktisi dan peneliti Kebijakan Maritim (Maritime Policy), tinggal di Surabaya, disalin dari Detik, 21 September 2018.