Memutus Peluang Pemburu Rente Kuota Impor Pangan
Oleh: Dr. Andi Irawan*
KPK meminta agar rencana impor bawang putih tahun ini bisa ditinjau lebih matang sehubungan dengan tertangkap tangan salah satu anggota DPR yang diduga kuat meminta fee Rp 3,6 miliar dan Rp 1.700-1.800 tiap kg dari total kuota 20 ton bawang putih yang dibantu anggota dewan tersebut urusan izinnya. Suap itu diduga berasal dari pihak swasta yang berkepentingan untuk mendapatkan kuota impor tersebut. KPK menyatakan duit yang sudah diberikan ke oknum anggota DPR tersebut berjumlah Rp 2 miliar. Duit itu ditransfer lewat rekening money changer.
Modus tindak pidana korupsi di bidang impor pangan yang telah terungkap adalah pemberian suap kepada pejabat negara oleh pengusaha impor dengan tujuan untuk mempengaruhi kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki pejabat tersebut agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan si pemberi suap. Bentuk kebijakan yang dipesan itu seperti izin masuk dari negara importir baru, menetapkan kuota impor tertentu, mengatur harga dasar impor produk pangan, mengatur harga jual produk impor di masyarakat, dan lain-lain kebijakan yang semuanya mengusung kepentingan pihak-pihak yang memberi suap dan rente.
Tentu anggota DPR tidak mungkin bisa melakukan itu sendiri. Yang mengeluarkan aturan-aturan tersebut adalah kementerian teknis. Maka hampir dapat dipastikan dugaan korupsi tersebut juga akan melibatkan pejabat penting di kementerian-kementerian yang mengatur kebijakan impor bawang putih, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan). Sampai hari ini dua kementerian yang berwenang tersebut sudah ikut digeledah oleh KPK, tepatnya ruang Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dan ruang Dirjen Hortikultura Kementan.
Telah menjadi fenomena yang umum di negara-negara berkembang bahwa ide proteksi petani dan keberpihakan pada kepentingan domestik menjadi kamuflase kebijakan-kebijakan perburuan rente (Mobarak dan Purbasari, 2006). Isu tentang kemandirian, nasionalisme, dan proteksi petani adalah tampak depan dari panggung politik. Sedangkan bagian belakangnya adalah hasil lobi industri dan pengusaha untuk kepentingan bisnis kelompok dan personal. Proteksi menjadi alat tunggangan untuk menghadirkan kontrak dan kesepakatan haram antara pengusaha dan penguasa untuk memberikan lisensi perdagangan (trade license) seperti kuota pasar, izin impor bahan baku, dan beragam bentuk keberpihakan kebijakan kepada perusahaan tertentu.
Motivasi yang melatarbelakanginya adalah berburu mega-rente yang nilainya sangat luar biasa, atau karena kepentingan bisnis kroni dan keluarga. Proteksi secara retorika ditujukan untuk membangun atau melindungi industri nasional, tetapi dalam realita implementasinya adalah untuk melindungi atau mengistimewakan bisnis personal atau kelompok tertentu. Dampaknya, masyarakat umum dirugikan.
Kerugian yang langsung terasa adalah dalam wujud harga-harga pangan yang tinggi, padahal impor juga tinggi. Sementara petani tidak diuntungkan karena kenaikan harga yang tinggi tersebut tidak bisa ditransmisikan ke mereka karena kendala rantai pasok yang telah dikuasai sepenuhnya oleh kekuatan monopoli pihak-pihak yang telah berkolusi dengan pengambil kebijakan tersebut. Maka kebijakan impor yang ditujukan untuk menolong petani berdampak sebaliknya, merugikan mereka dan lebih dari itu juga merugikan masyarakat konsumen.
Jadi kalau pemerintah ingin mencegah korupsi seperti dalam kasus OTT bawang putih tersebut tidak terulang dan kebijakan impor tersebut bisa menstabilkan harga pangan, maka solusi pentingnya adalah mencabut kebijakan kuota impor pangan. Kebijakan kuota impor itu menyebabkan barang impor gagal menekan harga domestiknya. Karena untuk mendapatkan izin kuota tersebut sang importir harus memberi imbalan pada pejabat terkait sebesar margin tertentu dari total kuota yang akan diterimanya terkait pengeluaran izin. Tentu semua pengeluaran untuk membayar fee dan rente para pejabat tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan menjadi bagian dari biaya transaksi impor pangan. Dampaknya harga komoditas pangan impor tersebut tetap tinggi walaupun impor telah dilakukan dengan jumlah yang besar.
Kebijakan kuota impor terbukti tidak menguntungkan konsumen dan produsen dan dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin berburu rente. Dugaan kuat kebijakan ini tetap eksis sampai hari ini karena kepentingan tersembunyi yang antipublik –kepentingan berburu rente dengan menjual izin impor. Presiden Jokowi seharusnya bisa segera mengoreksi dan mengganti semua kebijakan kuota impor produk-produk pertanian dengan kebijakan tarif impor kalau ingin mengatasi masalah harga-harga pangan yang menyulitkan rakyat, sekaligus meminimalisasi aksi berburu rente pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kebijakan tarif impor itu maknanya sederhananya mengizinkan siapa saja yang mau impor pangan. Tidak perlu izin dari Kemendag dan Kementan selama mereka bayar tarif/pajak impor. Lalu bagaimana pemerintah mengontrol impor agar tidak merugikan petani domestik? Parameternya adalah harga komoditas pangannya. Kalau harga pangan yang ditarget turun, maka impor disetop sama sekali. Kalau barang langka, maka impor dibuka kembali ke semua importir.
Selama ini pemerintah menentukan kuota impor. Untuk mendapatkan kuota tersebut para importir harus mendapatkan izin dari Kemendag dan Kementan. Lisensi untuk mendapatkan kuota inilah yang menjadi pintu masuk power politik dalam menentukan kuota impor. Dan, berdampak kuota ini bisa dijual kepada pihak-pihak yang berani memberikan rente yang paling menarik bagi oknum pengambil kebijakan (oknum DPR dan oknum pejabat pemerintah terkait). Ini yang menghadirkan peluang korupsi. Kebijakan kuota impor ini harus diganti dengan kebijakan tarif impor agar peluang berburu rente yang mengikutinya menjadi hilang. (LiputanIslam.com)
*Lektor Kepala pada Program Studi Pascasarjana Agribisnis Universitas Bengkulu, disalin dari Detik, 5 September 2019.