Jokowi ke Kanan, Prabowo ke Tengah, Kita ke Mana?

0
556

Oleh: Fitraya Ramadhanny*

Jokowi membidik pemilih religius, Prabowo membidik pemilh nasionalis. Keduanya banyak bertukar taktik. Saatnya rakyat menjadi pemilih cerdas.

Lewat serangkaian acara dari penetapan pasangan capres, pengambilan nomor, dan deklarasi damai, resmi sudah proses panjang kampanye Pemilu 2019 kita mulai. Kejutan sudah dimulai sejak Jokowi berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno.

Kita lalu melihat kedua kubu sama-sama sibuk bikin pembenaran kenapa harus KH Ma’ruf Amin, kenapa harus Sandiaga Uno, untuk dijelaskan ke pendukungnya. Padahal, nggak usah kaget. Dalam pendekatan Rational Choice, ini adalah pilihan masuk akal bagi kedua kubu untuk memenangkan Pilpres 2019. Sekali lagi, jangan kaget.

Justru inilah momen ketika kita sebagai rakyat, selaku pemegang kedaulatan, melihat lebih utuh perilaku elite politik kita. Bukan sekadar dukung mendukung, tapi memahami bagaimana situasi yang sebenarnya terjadi. Jokowi kenapa sih? Prabowo kenapa sih?

Pertama, saya menilai baik Jokowi maupun Prabowo tidak cukup percaya diri dengan basis pemilihnya yang asli. Suara pemilih nasionalis tampaknya tidak cukup untuk memenangkan Jokowi. Maka, mereka memperluas pasar pemilih ke arah kanan yaitu pemilih tradisional religius. Tiba-tiba ulama satu per satu jadi pendukung Jokowi.

Prabowo juga sama saja. Suara pemilih tradisional religius rupanya tidak cukup, mereka pun bergeser ke tengah untuk menyasar pemilih nasionalis. Tiba-tiba, materi kampanye yang melimpah ayat, berganti membidik emak-emak. Pasar pemilih yang sebenarnya belum menggambarkan keseluruhan pemilih perempuan. Tapi, emak-emak ini catchybuat dijual.

Pun begitu, mereka tidak mau kehilangan pemilih setia. Luhut Panjaitan tampil dominan menjaga wajah nasionalis kubu Jokowi. Sedangkan, kubu Prabowo juga tidak mau kehilangan pemilih tradisional religius. Sandiaga Uno pun langsung disebut sebagai santri post-islamisme dan sebulan kemudian “naik pangkat” disebut sebagai ulama. Sama to?

Kedua, akibatnya dalam Pilpres 2019 nanti, kedua kandidat jadi tidak ada bedanya. Apa yang ada di kubu Prabowo ada juga di Jokowi. Prabowo punya Sandiaga Uno, Jokowi punya Erick Thohir untuk membidik pemilih muda. Prabowo punya sosok Jenderal Djoko Santoso dan gerbong perwiranya, Jokowi juga punya Luhut Panjaitan dan gerbong perwiranya juga.

Nomor urut kampanye pun kini saling bertukar. Kalau mau, mereka tukaran saja semboyan jari-jari mereka. Tuhan suka yang ganjil dioper ke Jokowi, salam dua jari dioper ke Prabowo. Beres kan?

Tapi, sadarkah kita bahwa pada ujungnya para pendukung di akar rumput dipaksa untuk menerima manuver-manuver elite politik? Ahoker dipaksa menerima kalau Jokowi memilih Ma’ruf Amin. GNPF dipaksa menerima kalau Prabowo memilih Sandiaga Uno. Jadi, ngapain kita ngotot dan bertengkar kalau junjungan politik kita gampang berputar haluan?

Makanya, menyambut Pilpres 2019, ayo kita menjadi pemilih yang cerdas. Ambil jarak agak jauh sedikit dan melihat gambarnya lebih utuh. Kali ini kita menghadapi Jokowi rasa Prabowo dan Prabowo rasa Jokowi. Kondisi ini justru bisa dimaknai positif bahwa kedua kubu capres meninggalkan titik ekstrem mereka pada 2014 dan ingin merangkul semua orang di tahun 2019.

Kalau elite politik kita perilakunya cair, tidak ada kawan dan lawan abadi, saling bertukar orang dan taktik, lantas kenapa kita sebagai rakyat harus menjadi fanatik? Justru inilah saatnya menikmati pemilu dengan lebih woles, abaikan semua provokasi busuk itu.

Kita kembali ke judul tulisan ini. Kalau Jokowi ke kanan, Prabowo ke tengah, kita ke mana? Jawabannya adalah kita tetap di tempat kita sekarang. Kita adalah rakyat yang memegang kedaulatan. Biarkanlah Prabowo dan Jokowi berlenggak-lenggok di hadapan kita, menjual pesona, menawarkan program, beradu gagasan. Jangan golput, dukunglah dengan wajar, nilailah secara rasional. Berbeda pilihan politik itu biasa, jangan mau diadu domba, jauhi fitnah dan hoax. Kita bikin pemilu lebih seru dan gembira. (LiputanIslam.com)

*Redaktur Pelaksana di detikcom, disalin dari Detik, 25 September 2018.

DISKUSI: