Berpikir Kritis Soal Pilkada Langsung VS Tak Langsung

0
425

pilkadaOleh: Ben Amru

Perdebatan yang sedang terjadi soal UU Pilkada terbaru, menurut saya perdebatan gombal. Apalagi sampai kalimat ‘Shame on You’ tiba-tiba jadi populer, entah untuk menggambarkan apa. Dalam hal ini, saya bersikap netral, karena menurut saya mereka yang berdebat soal ‘Penghianatan Demokrasi’ itu sedang membahas kemarau musim tahun lalu yang seolah-olah berubah musim ini. Padahal sama saja!

Mari kita tengok ke belakang. UU Pilkada Langsung disahkan pada tahun 2004. Perhatian saya, justru bukan soal mekanisme memilih langsung, tapi pada: dibolehkannya calon independen!

Buat saya, calon independen (apalagi yang menang) adalah simbol suara rakyat yang paling spesifik. Kemenangan calon independen adalah definisi paling murni dari suara rakyat: dari rakyat oleh rakyat. Sedangkan Pilkada, mau langsung ataupun via DPRD, jika yang menang adalah calon dari partai maka itu adalah kemenangan suara keterwakilan, mekanismenya tetap saja ‘dipilih partai lebih dulu secara eksklusif, baru kemudian dipilih masal oleh kita’. Pilkada langsung yang dimenangkan calon dari partai, bukanlah murni suara langsung (primer), tapi suara sekunder. Dalam konteks ini, sulit menentukan mana peran yang lebih utama, kinerja partai atau keberhasilan kolektif rakyat.

Sejak disahkannya UU Pilkada Langsung tahun 2004, sampai tahun 2012, jumlah pemimpin daerah yang menang dari calon independen hanya delapan orang saja, saya ulangi: delapan pimpinan daerah! Sisanya, dari ratusan pimpinan daerah yang menjabat merupakan pilihan/didukung oleh partai (mudah-mudahan saya salah data).

Sebagian orang sangat perhatian pada ‘mekanisme’, tapi selama ini abai dengan isu calon independen. Seolah-olah kalau kita tidak memilih langsung, maka kita dikhianati. Tapi disaat yang sama, sewaktu kita disuguhi calon yang tidak dipilih atau didukung partai, malah seleranya sama dengan partai. Padahal, klaimnya kan kepingin memilih langsung?

Pada Pilgub DKI 2012, saya adalah simpatisan Faisal Basri – Biem Benyamin. Sayangnya, saya bukan warga DKI. Seandainya saya punya hak pilih, tentu saya tak akan ragu memilih Faisal Basri – Biem Benyamin untuk jadi Gubernur dan Wagub DKI. Saya pendukung pasangan ini, karena mereka adalah… Calon Independen!

Tapi hasilnya, suara yang diterima Faisal Basri-Biem cukup tertinggal dari Jokowi-Ahok. Dan saya masih menyayangkan mengapa calon independen sekaliber Faisal Basri tidak ‘diterima’ di kota sekaliber Jakarta. Kini, ketika banyak orang ngedumel dengan kembalinya hak pilih oleh DPRD, saya berfikir: (maaf) ada yang tidak beres dengan logika berfikir kita. Dulu menyia-nyiakan calon independen, sekarang protes sewaktu pilihan dikembalikan pada DPRD/Partai.

Berikut ini, 2 contoh Pilkada fenomenal yang mengalahkan suara calon independen:

Pilgub DKI 2012 memenangkan Jokowi- Ahok. Saat itu ada 6 pasangan calon, dengan 4 pasangan diusung partai dan hanya 2 pasangan dari jalur independen. Pertanyaannya, jika kita memang berdebat soal kepercayaan kita pada DPRD (yang didalamnya terdiri dari fraksi-fraksi partai) mengapa Pilgub DKI 2012 yang menang justru Jokowi-Ahok yang diusung PDIP-Gerindra? Bukan Faisal Basri – Biem Benyamin atau Hendardji Soepandji – Ahmad Riza yang merupakan calon independen?

Pilwalkot Bandung 2013 memenangkan Ridwan Kamil. Saat itu ada 8 pasangan calon walikota, dengan jumlah yang seimbang: 4 diusung partai, dan 4 calon independen. Pertanyaannya (sekali lagi) mengapa dengan pilihan calon independen yang berlimpah itu, calon walikota yang menang justru Ridwan Kamil, yang diusung Gerindra & PKS, bukan dari calon-calon independen yang berjumlah banyak itu?

Jadi, misalnya dulu tidak memilih Faisal Basri-Biem Benyamin dan sekarang merasa dikhianati oleh 226 anggota DPR yang memilih Pilkada via DPRD, berapa nilai konsistensi kita dari 1 sampe 10? Okelah, mungkin kita bisa berkelit: tapi Faisal-Biem tidak berkualitas, yang berkualitas ya Jokowi-Ahok. Itupun serangan balik untuk diri kita sendiri. Itu menegaskan, Partai memang bekerja dengan baik, baik dalam memilih/medukung kandidat yang sesuai pilihan kita maupun dalam usaha membujuk kita. Sadar atau tidak, kita masih senang berada di ketiak partai, tapi menghujat bau asem yang tercium!

*disalin dari akun facebook Ben Amru dengan sedikit editan EYD

 

—-

Redaksi menerima sumbangan tulisan untuk rubrik Opini, silahkan dikirim ke redaksi@liputanislam.com

DISKUSI: