Candy’s Bowl: Redam Konflik Keagamaan di Indonesia
Yogyakarta, liputanislam.com–Masih segar dalam ingatan kita, beragam konflik atas nama agama terjadi di bumi pertiwi. Bak pertunjukan opera, konflik tersebut tidak hanya antar-agama, tapi juga melibatkan inter-agama. Sebut saja kasus terorisme, penyerangan masjid Ahmadiyah di Tulungagung, pengusiran dan pembakaran rumah-rumah warga Syiah Sampang, serta kasus pendirian gereja di beberapa tempat, seperti GKI Taman Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi.
Sungguh fenomena The Battle of God ini, meminjam istilah Karen Armstrong, merupakan persoalan krusial yang harus dicari jalan keluarnya. Mengingat Indonesia adalah negara majemuk yang seyogyanya menjunjung tinggi nilai Pancasila, sebagai landasan negara.
Berbagai teori “politik kerukunan” telah ditawarkan para pemikir dunia, seperti sekularisme, melting pot, multikulturalisme, dan salad bowl. Namun, teori-teori itu tidak bisa diinjeksikan serampangan pada Indonesia. Alih-alih menyembuhkan, teori tersebut justru menimbulkan penyakit kronis.
Di tengah kegersangan pencarian teori pamungkas, hadir oase pemikiran dari putra bangsa. Dr. Munawar Ahmad memberikan secercah harapan untuk meredam konflik berjubah agama ini. Dosen Resolusi Konflik Pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menawarkan teori “Candy’s Bowl”. Teori ini diadopsi dari gagasan Hannah Arendt, salah satu ilmuwan politik terkemuka abad ke-20. Candy’s Bowl digulirkan Munawar pada bedah buku yang berjudul “Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”.
Cuaca mendung, pada Sabtu pagi (25/1) ini, tidak menyurutkan langkah para pecinta ilmu. Sekitar 150 orang, yang notabene kalangan akademisi, datang memenuhi Gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Secara sederhana, Candy’s Bowl (wadah permen) bisa dipahami sebagai imajinasi bentuk sosial yang berusaha menampung keragaman. “Bayangkan saja permen-permen dalam sebuah wadah. Mereka tidak menganggu tampilan satu sama lain atau masing-masing tetap eksis, baik warna maupun rasa,” ujar Munawar kepada para hadirin.
Candy’s Bowl Versus Teori-teori Mapan
Dalam pandangan Munawar, idealnya Indonesia belajar dari teori-teori “Politik Kerukunan” yang sudah mapan. “Jika Indonesia mau belajar dari teori yang ada, maka kita akan menemukan model dengan beberapa perspektif baru,” paparnya lantang. Tapi, ia menegaskan bahwa kita tidak bisa serta-merta menerapkan teori-teori tersebut untuk menyelesaikan persoalan Indonesia secara komprehensif.
“Indonesia beragam, tapi basis mayarakatnya bukanlah migran. Jadi, tentu akan kesulitan untuk untuk menerapkan Melting Plot sebagaimana di Amerika. Begitu juga ketika mengadopsi Salad Bowl, multikulturalisme dan sekularisme; Indonesia akan mengalami kesulitan karena negeri ini telah mempunyai latar belakang keragaman masyarakatnya yang telah lama hidup dan berada dalam kesadaran sejarahnya,” ungkap Munawar.
Munawar menjabarkan satu-persatu teori yang dimaksud. “Sekularisme, dalam istilah politik, diartikan sebagai gerakan yang mengusung pemisahan agama dari pemerintah. Ini berpotensi menutup kanal kekuatan agama untuk (masuk) mewarnai pemerintahan. Sehingga, acap kali ketidakmampuan Negara menjadi sekular sepenuhnya justru menjadikan negara berkolusi dengan lembaga agama,” ujarnya.
Selain itu, teori politik Melting Pot merupakan istilah metafora terhadap kehidupan masyarakat yang heterogen menuju homogen. Munawar memaparkan, “Semua elemen yang berbeda mencair bersama ke dalam ruang harmoni dengan menggunakan kultur bersama. Teori ini dikembangkan di Amerika untuk mengantisipasi dampak dari migran yang diharapkan berasimilasi ke dalam kultur negeri itu,” ucapnya.
Namun, teori tersebut ditentang berbagai kalangan pada tahun 1970 dengan mengusung teori politik Multikulturalisme. “Bagi penganut Multukulturalisme, perbedaan budaya di dalam masyarakat tidak dapat dianggap sepele, sebab ia adalah mozaik indah. Kendati demikian, ada kekuatan hegemoni mayoritas,” papar Munawar.
Selanjutnya, teori Salad Bowl yang lebih diarahkan pada integrasi berbagai budaya yang berbeda dalam ruang sosial-politik. “Seperti halnya sebuah wadah salad, di dalamnya diisi oleh berbagai jenis sayuran; sungguh ideal, menyatu dalam sebuah wadah, tanpa harus mereduksi warna dan jenis dari kemurnian budaya masing-masing, tetapi harus berada dalam homogenitas,” ujarnya dengan mata berbinar.
Sudah selayaknya Indonesia mengembangkan model baru yang kontekstual. Maka, teori Candy’s Bowl layak dipertimbangkan untuk mengelola keragaman. Ia menjelaskan lebih lanjut, “Teori ini berupaya untuk menjamin lahirnya lembaga judisial yang adil dalam menyelesaikan konflik agama, serta menciptakan ruang kondusif bagi tumbuhnya potensi-potensi positif dari masyarakat dalam mengelola keharmonisan hidupnya.”
One for All
Pada penelitian ini, Munawar menerapkan politik Candy’s Bowl dalam kasus Ahmadiyah di Indonesia. Kendati demikian, teori ini bisa diterapkan untuk melihat kasus konflik agama lainnya. Bagaimanapun, sejak tahun 1925 Jemaat Ahmadiyah telah eksis di Indonesia. “Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pada tahun 2014 ini, telah mencapai usia 89 tahun. Sayangnya, rentang waktu itu tidak menjamin Ahmadiyah bisa diterima dengan baik di Indonesia,” ungkapnya dengan nada satir.
Melalui teori Candy’s Bowls, perbedaan adalah fakta empiris yang tidak dapat dihindari. Teori ini menyadarkan kita bahwa di balik perbedaan, tersimpan potensi negatif dan positif. Nah, teori ini dimaksudkan untuk pemberdayaan potensi positif dalam ruang konflik, seperti konflik antar dan intern agama.
Pada tataran teologis, agama berpotensi memancing konflik karena mempunyai kekhasan. Tetapi, setiap agama memiliki ajaran kedamaian yang bisa diimplementasikan sebagai landasan untuk hidup harmoni. Di titik inilah, negara seyogyanya mempunyai political will untuk menumbuhkan kedamaian. Atas dasar itu, Munawar menegaskan bahwa Candy’s Bowl hanya bisa diterapkan pada tataran sosial dan antropologi, bukan ranah teologi.“Candy’s Bowls ini memang terkesan utopia, tetapi rasional. Meskipun kelemahan teori ini pra-syaratnya berat, yaitu kesiapan psikologis bahwa kita berbeda, jika tidak berbeda maka jangan berdemokrasi, tetapi saya positif sepuluh tahun yang akan datang teori ini bisa diterapkan, bukan sekarang,” ujar Munawar optimis saat menjawab salah satu pertanyaan audiens.
Bedah buku ini berlangsung kurang lebih tiga jam dimulai pada jam 09.30 WIB dan berakhir pada jam 12.30 WIB. Hadir sebagai pembahas pertama, yaitu Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, dosen dan mantan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga periode 2006-2010. Sedangkan pembicara kedua dari Ahmadiyah, Drs. Mahmud Mubarik Ahmad, M.M, Sekretaris Isyaat (bidang penerbitan) JAI.
Menurut Zulkarnain, karya Munawar ini adalah salah satu buku bagus yang patut diapresiasi sebagai sebuah tawaran untuk masalah konflik keagamaan di Indonesia. Sementara itu, Mubarik mengkritik masalah penulisan buku secara teknis, tapi tetap memberikan apresiasi. Ia menguti pandangan Gus Dur, “Kalau Ahmadiyah dilarang di Indonesia, logikanya agama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha harus dilarang juga karena mempunyai perbedaan keyakinan teologi.”
Penafsiran adalah konsekuensi logis dari anugerah akal. Dan perbedaan penafsiran, bukanlah alasan untuk melakukan kekerasan atas nama Tuhan(liputanislam.com/wz/nf)