Konferensi Internasional Tasawuf: Membangun Perdamaian Dunia
Bertempat di Ruang Persatuan, lantai 3, Gedung Notonegoro, Fakultas Filsafat UGM, konferensi dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Kendati lebih jajaran narasumber lebih didominasi oleh lingkungan ahli tariqat, para peserta datang dari lapisan akademisi dan peneliti tasawuf. Tampaknya konferensi ICS yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di UGM mampu mengakomodasi berbagai perhatian publik terhadap tasawuf.
Selaku Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjoyo membuka konferensi dan menekankan arti penting tasawuf bagi kaum akademisi sehingga diperlukan inteaksi langsung dengan para ahli tariqat dalam upaya bersama membangun tanah air. Sementara itu, wakil rektor UGM bidang penelitian dan pengabdian masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc, dalam sambutannya, menyampaikan posisi tasawuf dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman dan potensinya dalam pembangunan manusia sebagai pelaku sejarah dan perubahan.
Konferensi ICS yang berlangsung satu hari ini menghadirkan Dr. Kholid Al Walid sebagai keynote speaker. Dalam paparannya, ketua STFI Sadra ini melakukan eksplorasi atas lapisan-lapisan bidang tasawuf dan Irfan Islam guna mengimpun nilai-nilai kemanusiaan yang urgen ditanamkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tidak sedikit pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya mereka bukan sekedar berkecenderungan ke arah hidup sufistik, tetapi mereka itu justru guru-guru agung tasawuf”, ujarnya.
Sesi I dihadiri sejumlah tokoh tariqat seperti: KH Dhiauddin Quswandi Azmatkhan, Prof Syukri Abdullah Yeoh, Syeikh Rohimuddin al-Nawawi al-Bantani, dan Prof Dr. Ali Mishbah. Sementara pada sesi II hadir Dr Muhammad Ibrahimi, Dr. Mukhtasar Syamsuddin, dan Gus Mustafied.
Sementara Prof Syukri Abdullah Yeoh mengemukakan hasil-hasil penelitiannya terkait ajaran-ajaran tasawuf dalam tradisi dan dokumen kuno Malayu, Prof Dr. Ali Misbah mengurut asal dan akar ajaran tasawuf hingga ke sumber autentik. “Tasawuf dalam Islam terpelihara keutuhannya sejauh para pelaku dan penelitinya bergerak dalam koridor Al-Quran dan hadis”, tutur Mishbah. Ia menegaskan tasawuf mengandung nilai-nilai universal yang berhasil dipadukan dengan komitmen pada norma-norma partikular. “Para tokoh besar dari tariqat manapun adalah para ahli hukum Islam”, pungkasnya.
Dalam merespon dinamika sosial yang tengah berkembang dalam skala nasional maupun internasional, konferensi menyajikan sesi II yang berfokus pada penggalian potensi, peran dan kontribusi tasawuf, terutama menyangkut masalah radikalisme. Seperti dipaparkan Dr. Mukhtasar, masyarakat masih harus paspada terhadap kecenderungan dan trend terorisme sebagai bentuk faktual radikalisme. “Dan tasawuf merupakan salah satu sarana efektif dalam penanggulangan masalah ini sejak generasi dini”, ujarnya.
Konferensi ICS ditutup oleh Prof Dr Amsal Bakhtiar (Direktur Pendidikan Tinggi Islam Republik Indonesia). Dalam paparan singkatnya, ia mendukung penuh kepedulian dan program penyelenggaraan konferensi tasawuf setingkat internasional ini, dan perlu dibina perhatian kalangan akademisi terhadap peran tasawuf dengan tetap mempertimbangkan relevansinya dengan kondisi aktual. Ia menekankan peran tasawuf dalam semangat revolusi mental dan pembentukan karakter bangsa seperti: jujur, terbuka, saling menghargai. “Karakter ini merupakan nilai universal, yakni rahmat untuk segenap manusia”, tegasnya. Amsal berharap konferensi pertama tentang tasawuf ini, sebagaimana namanya, harus dipastikan diadakan setiap tahun di lingkungan kampus dengan melibatkan berbagai perburuan tinggi.
Konferensi ditutup dengan pembacaan rangkuman dari berbagai presentasi para narasumber dalam beberapa poin berikut: pertama, cinta pada kesempurnaan absolut dan keindahan tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, cinta makhluk Tuhan yang menonjolkan keadilan dalam kemanusiaan sebagai adab dan hukum dalam mencintai Tuhan. Ketiga, cinta cenderung kepada persatuan dan penyatuan diri bukan hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia, dengan alam, dengan lingkungan, dengan tumpah darah dan tanah airnya sendiri. Keempat, cinta terlibat aktif di tengah masyarakat berdasarkan nilai-nilai kebenaran Ilahi dan kemaslahatan insani. Dan kelima, dengan kecintaan pada nilai keadilan, peran penyempurna sosial terlaksana secara bahkan lebih merata daripada nilai kedermawanan.
Lima poin ini adalah tidak lain dari butir-butir Pancasila. Tasawuf dapat dipastikan sebagai satu komponen penguat nilai-nilai asas kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Pengamalan butir-butir Pancasila berbanding langsung dengan membina diri dalam arus tasawuf. Demikian sebaliknya, pengalaman dalam bertasawuf akan berdampak positif pada pengalaman Pancasila. Tidak hanya kalangan sufi, semua orang pasti mencintai nilai ketuhanan, keadilan, keberadaban, persatuan, kebenaran, kebijaksanaan dan kemaslahatan. (afh)