Ini Hari Perempuan, Bukan Hari Ibu (Saja)
Saya pun tercenung. Ya, bukankah penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu didasarkan pada tanggal berlangsungnya kongres pertama perempuan Indonesia tahun 1928? Saat itu, aktivis dan organisatoris perempuan dari Jawa dan Madura datang ke Yogyakarta. Isu yang dibahas saat itu adalah isu perempuan sebagai elemen pergerakan, bukan perempuan sebagai ibu ‘saja’ (tentu, tanpa bermaksud merendahkan status ibu). Antara lain, persatuan perempuan Nusantara; peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan; peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan. Pada Juli 1935, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia II yang membicarakan upaya pemberantasan buta huruf dan menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita perusahaan batik di Lasem, Rembang.
Sebuah gerakan yang terasa heroik, dan politis.
Namun, dimana sekarang gerakan perempuan yang politis, yang mampu memberikan terobosan penting bagi perlindungan perempuan Indonesia? Mengapa Hari Ibu menjadi identik sekedar memberikan hadiah untuk ibu dan bernuansa domestik?
Mudiyati menguraikan bahwa gerakan perempuan harus dibedakan dari feminisme. Feminisme adalah salah satu elemen dari gerakan perempuan. Ada banyak model atau bentuk gerakan perempuan lainnya, bahkan termasuk gerakan perempaun yang ingin memarjinalkan perempuan sendiri. Gerakan feminisme sendiri pun ada banyak jenis, tidak bisa disamaratakan.
Karena itu, tentu saja, mengingat sangat besarnya permasalahan yang dialami kaum perempuan di Indonesia, tidak tepat bila ‘alergi’ pada gerakan perempuan dengan menyamakannya dengan feminisme ala Barat. Gerakan perempuan adalah upaya mengorganisir perempuan atas dasar kepentingan kelompok. Ada begitu banyak isu yang harus ditangani, mulai dari kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi perempuan, hingga masalah yang terlihat tidak secara langsung terkait dengan perempuan.
Misalnya, diskriminasi terhadap suku, mazhab, atau agama tertentu, yang menjadi korbannya adalah perempuan. Misalnya, pembakaran dan pembunuhan terhadap warga pemeluk mazhab Syiah di Sampang, Madura. Ketika beberapa lelaki tewas dibunuh massa beringas atas nama agama, siapakah yang harus menanggung kehidupan anak-anak yatim yang ditinggalkan? Tak lain, perempuan. Ketika warga kampung itu diusir massa yang bekerja sama dengan aparat dan hidup bertahun-tahun di pengungsian, siapakah yang paling menderita? Tentu saja, perempuan dan anak-anak.
Politik, menurut Dhani, adalah memproduksi kebijakan. Karena itu, perempuan harus dilibatkan. Perempuan harus memperjuangkan hak-hak perempuan yang belum terakomodasi dalam kebijakan.
Namun sayangnya, baik Dhani maupun Mudiyati sama-sama menyebutkan halangan besar, yaitu budaya Indonesia. Mudiyati menceritakan, konsep perempuan sebagai ‘kanca wingking’ atau pendamping semata, menjadi penghalang bagi perempuan untuk maju memperjuangkan haknya. Perempuan berat melangkah ke dunia politik, karena ada ‘kewajiban’ untuk terus mendampingi suami dan anak (sibuk dalam urusan rumah tangga).
Terlebih lagi, kata Dhani, masuk ke dunia politik membutuhkan dana yang sangat besar. Tak heran bila sebagian besar politisi perempuan di Indonesia berasal dari kalangan yang memang sudah mapan secara sosial dan ekonomi, misalnya, anak pejabat, anak mantan anggota DPR, istri anggota DPR, istri pejabat, atau artis, dan sejenisnya. Akibatnya, mereka ini tidak memiliki kesadaran gender dan tidak mengetahui akar persoalan perempuan; tidak tahu mana yang seharusnya diperjuangkan. Mereka pun hanya mengikuti agenda yang sudah ditetapkan dan diatur oleh kaum lelaki.
Namun, tantangan terbesar adalah budaya. Selain budaya menjadikan perempuan sebagai ‘makhluk kedua’, juga budaya politik yang lebih bicara soal kekuasaan (siapa mendapat apa). Selain itu, budaya demokrasi kita masih bicara soal partisipasi, bukan penyebaran gagasan, kesadaran tentang hak, dan perjuangan. Akibatnya, keterlibatan sekian orang perempuan di parlemen dianggap sebagai kemajuan, padahal yang jauh lebih penting adalah ‘apa’ yang dilakukan para perempuan itu di parlemen.
Tantangan-tantangan itu harus didobrak oleh perempuan sendiri. Antara lain, sejak dari keluarga, ia mendidik anak-anak dengan cara setara, memberikan dorongan kepada anak perempuan untuk berani menyuarakan pendapat, dll. Penulisan buku-buku anak-anak pun perlu diperbaiki. Sejak dulu, buku cerita anak selalu bernuansa ‘ayah membaca koran, ibu memasak’. Perempuan harus mendidik dirinya untuk sadar politik dan berani maju memperjuangkan hak-haknya. (Indah/LiputanIslam.com)