Iranfobia Warnai Pertemuan Tiga Pemimpin Mesir, UEA dan Israel
SharmElSheikh, LiputanIslam.com – Para pemimpin Mesir, Israel dan Uni Emirat Arab mengadakan pertemuan di resor Laut Merah Sharm el-Sheikh, Mesir, Selasa (22/3), untuk pembicaraan tentang dampak ekonomi invasi Rusia ke Ukraina dan berkembanganya pengaruh Iran di Timteng.
Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi menjadi tuan rumah pertemuannya dengan penguasa de facto Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, dalam pertemuan puncak segi tiga pertama mereka sejak normalisasi hubungan antara UEA dan Israel.
Kantor kepresidenan Mesir menyatakan bahwa ketiganya membahas stabilitas pasar energi dan keamanan pangan, dua tantangan utama yang dihadapi Kairo setelah serangan Rusia di Ukraina mendongkrak harga gandum dan minyak mentah. Mereka juga membahas isu-isu internasional dan regional.
Ketiga negara tersebut adalah sekutu dan mitra AS dan merupakan bagian dari poros Arab-Israel yang bertujuan mengendalikan pengaruh Iran di tengah ketidakpastian tentang komitmen Washington terhadap keamanan regional.
Wakil Menteri Luar Negeri Israel Aidan Roll kepada Radio Kan mengatakan, “Kami menyaksikan dengan jelas penguatan poros yang menghadirkan narasi lain di Timteng, yaitu bahwa kami dapat bekerja dan bekerjasama dalam masalah ekonomi dan pertahanan.”
Dia menambahkan, “Israel berkomitmen untuk membangun kemitraan yang baik dengan siapa pun dalam menghadapi poros ekstremis Iran.”
Saluran 12 Israel melaporkan bahwa Bennet mengusulkan kepada El-Sisi dan Bin Zayed pembentuan aliansi regional anti-Iran.
Sumber-sumber keluarga Kerajaan Saudi menyatakan bahwa pertemuan puncak segi tiga itu sangat penting bagi masa depan kawasan Timteng.
Kekhawatiran terhadap Iran mendorong UEA dan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020, sementara Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada sekira 40 tahun silam.
Tiga negara itu secara khusus mengkhawatirkan kesepakatan yang mulai terbentuk untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia, di mana sanksi terhadap Iran akan dicabut sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Mereka takut Iran sedang berusaha mengembangkan senjata nuklir, meski Teheran kerap membantah tuduhan demikian.
Pada bulan lalu Bennett mengatakan bahwa kesepakatan yang diharapkan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir itu lebih lemah dari pengaturan awal dan akan menyebabkan lebih banyak kekerasan di Timur Tengah. Dia juga mendesak AS agar tidak menghapus pasukan elit Iran Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dari daftar hitam organisasi teroris asing dengan imbalan “janji-janji kosong.”
Negara-negara Arab Teluk Persia juga mengkritik pembicaraan nuklir karena tidak membahas program rudal Iran dan proksi Teheran di kawasan, terutama Ansarullah (Houthi) di Yaman yang kerap meluncurkan rudal dan drone serang ke Arab Saudi dan UEA.
Saudi dan UEA kuatir pengaruh Iran semakin membesar jika dapat mengekspor minyak lagi di bawah perjanjian nuklir dengan Washington.
Pengamat politik UEA Abdul Khaleq Abdullah mengatakan, “Beberapa sekutu utama AS di sini tidak senang dengan pendekatan (Presiden AS Joe) Biden… Bagi mereka, pendirian bersama mereka dan berbicara dengan satu suara mungkin beresonansi”.
Kepala Pusat Studi Strategis Mesir, Khaled Okasha, mengatakan bahwa pertemuan El-Sisi dengan Bennett mungkin berfokus pada dampak konflik Ukraina, dan di saat yang sama ketiga negara itu sependapat tentang Iran. (mm/raialyoum/almayadeen)
Baca juga: