Novel Baswedan, Bintang Emon dan Lucunya Penegakan Hukum di Negara Kita

Potret salah seorang anggota polisi aktif, pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan. Sumber foto: Kompas.com
Jakarta,LiputanIslam.com—Panggung hukum Republik Indonesia telah menjadi bahan tertawaan publik setelah komedian Bintang Emon turut angkat bicara terkait kasus penyerangan yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan, dan menertawakan alasan pelaku yang “tidak sengaja” menyiram air keras ke wajah Novel.
Kelucuan demi kelucuan yang ditertawakan Emon berdasarkan atas tiga hal:
Novel Baswedan Berjalan Handstand?
Hukum gravitasi di muka bumi itu sama, segala sesuatu jatuh dari atas ke bawah. Begitu juga di lokasi tkp penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Emon menertawakan pelaku penyerangan yang mengaku tak sengaja menyiram wajah Novel, dengan berdalih awalnya hanya ingin menyiram area badan saja. Bagaimana bisa air keras yang disiramkan ke badan naik melawan hukum gravitasi hingga berlabuh di wajah? “Kecuali kalau Novel Baswedan berjalan handstand”, begitu kata Emon.
Pelajaran Berwujud Kekerasan
Jika para pelaku mengklaim dirinya hendak memberikan pelajaran pada Novel Baswedan, entah pelajaran apa, seharusnya mereka menghampiri Novel yang sedang berjalan dan membisikinya. Tapi, pelaku justru menyiramkan air keras ke wajah Novel. Apakah itu disebut pelajaran? “Itu kekerasan bos, namanya juga nyiram pake air keras”.
Tidak Sengaja, Tapi Niat Bangun Subuh?
Kejadian berlangsung di waktu subuh, usai Novel Baswedan melaksanakan shalat di masjid dan hendak pulang menuju rumah. Jika memang tidak sengaja, bagaimana pelaku bisa bangun dan membuntuti Novel di subuh hari, saat godaan untuk melanjutkan tidur begitu kuat? Ini pasti sengaja.
Para Penegak Hukum Sedang Bersandiwara
Memang, kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi terkait kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan telah membuat kita semua curiga. Novel sendiri mengklaim ada sosok jenderal yang terlibat kasus korupsi yang ia tangani, sehingga melakukan berbagai cara agar kasus tersebut tertutup rapat.
Kita tau, betapa sulitnya negara pada awalnya menemukan pelaku penyiraman air keras, sampai-sampai Presiden Jokowi membuat tim khusus untuk mengusut tuntas kasus tersebut dan menjadikannya prioritas. Pada akhirnya, dua orang pelaku yang ternyata anggota polisi aktif ditemukan. Dua orang pelaku mengklaim tindakannya didasarkan atas motif pribadi, tanpa ada suruhan dari siapa pun.
Namun publik kembali bertanya-tanya tentang tuntutan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada pelaku yang hanya divonis satu tahun penjara. Bagaimana bisa seorang yang telah menganiaya seorang penyidik KPK dengan cara menyiramkan air keras ke wajah hingga menyebabkan kebutaan hanya menerima hukuman seperti itu?Dugaan-dugaan adanya sandiwara hukum dalam kasus Novel Baswedan menguat karena vonis tersebut.
Mari kita berandai-andai sejenak dengan membayangkan kejadian sesungguhnya seperti ini:
Skenario Pertama
“Seorang elit (orang berpengaruh, salah satunya bisa saja jenderal) yang tak berhasil diungkap dalam penyelidikan dan persidangan, sebut saja namanya Si Orang meminta dua orang bawahan polisinya untuk menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan sebagai ancaman agar ia tak meneruskan penyelidikannya. Karena yang meminta orang berpengaruh, maka dua orang polisi itu menurut dan melaksanakan tugas dengan percaya diri setelah mendengar kata-kata singkat dari Si Orang, “ Tenang, aku yang jamin”.
Setelah penyiraman terjadi, publik bertanya-tanya. Awalnya, Si Orang yang tentunya memiliki pengaruh ini menggunakan pengaruhnya untuk membuat kasus ini tertutup serapat-rapatnya, hingga tak berhasil dibongkar oleh siapa pun, bahkan oleh tim khusus yang dibuat presiden sekalipun. Seiring berjalannya waktu, ia berharap kasus ini akan menguap begitu saja seperti kasus-kasus meninggalnya Munir, misteri hilangnya Wiji Thukul, dan sederet kasus lainnya.
Skenario Kedua
Skenario pertama gagal. Desakan publik dan sebagian media yang kritis membuat Si Orang terpaksa membiarkan penyelidikan berhasil mengungkap identitas pelaku serangan. Tapi, motifnya diatur sedemikian rupa sehingga penyiraman air keras berhenti pada motif pribadi, entah itu dendam atau pengkhianatan. Atas dasar itu, terjadilah dialog antara Si Orang dengan dua orang pelaku:
Si Orang: “Ingat, jangan bawa-bawa saya.”
Pelaku: “Tapi pak, bagaimana nasib saya nanti?”
Si Orang: “Tenang, saya akan atur supaya proses persidangan tidak terlalu memberatkan kalian”. “Satu lagi, jasa kalian ini akan saya hargai mahal. Penjara satu tahun dan setelah itu kalian bebas, lalu mendapatkan kemewahan (bisa berbentuk uang atau kenaikan pangkat). Bagaimana?”
Pelaku: “Siap pak.”
Kita masih belum bisa membayangkan skenario ketiga. Tergantung pada perkembangan kasus ini ke depannya. Tapi jika apa yang sebenarnya terjadi seperti skenario di atas, maka sudah wajar jika komedia Emon, atau bahkan seluruh rakyat Indonesia dan dunia akan menertawakan sinetron komedi yang dipertontonkan oleh negara. Karena, sinetron itu, meski diperagakan secara serius, tapi lucunya bukan main, sampai membuat perut kita terkocok sejadi-jadinya. (HA/LiputanIslam)
Baca Juga: Islam dan Ketidakadilan Hukum Kasus Novel Baswedan