Kenapa Netanyahu Tergesa-gesa Jalankan Rencana Aneksasi Tepi Barat?
LiputanIslam.com-Meski banyak pihak, bahkan dari dalam negeri Israel sendiri, yang menentang rencana aneksasi Tepi Barat, namun Benyamin Netanyahu tetap bersikeras untuk menjalankan rencana tersebut sesegera mungkin.
Alasan kenapa Netanyahu ngotot untuk mencaplok Tepi Barat bisa ditemukan di Washington.
Bagi Netanyahu, Pemerintahan Donald Trump adalah salah satu satu elemen terpenting untuk menyukseskan aneksasi. Sebab, setelah 3 November nanti, dia tidak bisa yakin apakah Trump masih bertahan di Gedung Putih.
Selain itu, saat ini Trump menghadapi krisis ekonomis serius, pandemi Corona, dan unjuk rasa antirasisme di AS. Sebab itu, Netanyahu tak punya cara selain lebih serius mencari dukungan dari kaum Evangelist radikal.
Demi mendapat simpati Washington, Netanyahu bahkan rela menyingkirkan korporasi China dari proyek pengembangan pembangkit listrik Israel. Padahal dalam beberapa tahun terakhir, China adalah salah satu investor terpenting di Israel, terutama di bidang infrastruktur.
Benar bahwa AS melayangkan kritik, meski lunak, terhadap Tel Aviv atas rencana aneksasi. Namun penentangan ini tidak bersifat fundamental. Buktinya adalah pembentukan sebuah komite yang terdiri dari wakil-wakil AS dan Israel, yang tugasnya merancang cara pelaksanaan aneksasi.
Meski tidak ada kabar soal aktivitas komite ini di media, namun dari satu hal ini saja bisa disimpulkan bahwa tidak ada penentangan serius dari pihak AS. Apalagi Menlu AS Mike Pompeo juga mengatakan, keputusan final terkait aneksasi ada di tangan Israel.
Selain itu, kemungkinan besar Netanyahu mengetahui goyahnya posisi Trump di mata opini umum masyarakat AS. Info ini bisa ia peroleh dari lobi-lobi Zionis yang dimilikinya. Inilah yang mendorong Netanyahu untuk mewujudkan rencananya lebih cepat.
Ada satu pertanyaan mencuat di sini; jika diasumsikan bahwa Joe Biden akan memenangkan Pilpres AS, apakah situasi akan berbalik merugikan Netanyahu?
Jawabannya tidak.
Hingga kini, Biden tak pernah menunjukkan sikap jelas terkait rencana aneksasi. Bahkan sikapnya terkait pemindahan Kedubes AS ke Quds juga sangat lunak dan berhati-hati. Dia hanya mengisyaratkan akan membuka kembali Konsultas AS di kawasan Quds Timur.
Pada tahun 2009, Barrack Obama, yang juga berasal dari Demokrat, tidak mengambil sikap serius atas serangan Israel ke Gaza, yang menewaskan hampir 1200 warga Palestina.
Sebab itu, Netanyahu bisa merasa yakin bahwa meski nanti Trump kalah, peluangnya untuk berunding masih ada. Meski dalam perundingan itu, posisinya tidak begitu kuat, namun dia bisa yakin bahwa ia berpeluang untuk menjaga capaian-capaiannya di masa pemerintahan Trump.
Tiada keraguan bahwa satu-satunya cara untuk melawan Rezim Zionis adalah jalur yang ditempur Hamas dan Jihad Islami di Gaza. Kendati PNA secara lahiriah memutus hubungan dengan Tel Aviv, namun tampaknya kita tidak akan menyaksikan langkah-langkah lebih serius dari pemerintahan Mahmoud Abbas.
Tindakan paling serius yang bisa dilakukan Palestina saat ini adalah mengorganisasi perlawanan bersenjata, yang prosesnya sudah dimulai di Tepi Barat. Faktor ini pula menebar keraguan dan kebimbangan pada diri Otoritas Keamanan Israel terkait implementasi aneksasi. (af/fars)
Baca Juga:
Palestina Puji Tanggapan Jaksa ICC Terkait Rencana Aneksasi Israel di Tepi Barat
Palestina Kembali Dicaplok, Indonesia dan Rusia Kecam Keras Israel