Kampanye Negatif Versus Akhlakul Karimah
Black Campaign sudah dinyatakan sebagai perilaku terlarang secara formal, meskipun secara praktikal, hal tersebut dengan sangat mudah masih sangat marak ditemukan. Sedangkan untuk negative campaign, berbagai pihak masih menyatakannya sebagai hal yang bisa ditolerir. Alasannya, kampanye negatif mengungkap fakta, bukan fitnah. Gunanya agar publik dapat memastikan seorang capres dan cawapres (atau caleg, dalam konteks pemilu legislatif) benar-benar bersih ketika menjabat.
Tapi, kita dengan segera tahu bahwa apa yang disampaikan itu tak pernah lebih dari sebuah justifikasi. Fakta menunjukkan bahwa mekipun rekam jejak dan perilaku seseorang sudah “ditelanjangi” di masa kampanye, tetap saja banyak hal yang tidak terungkap. Faktanya, banyak sekali pejabat pemerintah dan juga anggota dewan (di pusat atau daerah) yang terbukti melakukan korupsi begitu mereka sudah menjabat. Padahal, rekam jejak dan kepribadian mereka sudah dibedah dan diserang semasa kampanye.
Kampanye negatif pada akhirnya hanyalah instrumen yang dipakai satu pihak untuk mengalahkan rival politiknya. Semuanya bersifat praktis dan pragmatis. Semuanya demi kepentingan syahwat sesaat. Hampir tidak ada tujuan mulia di balik perilaku kampanye negatif.
Inilah sisi buruk lain dari perilaku politik. Akhlakul karimah (akhlak yang muia) adalah ajaran luhur yang berkedudukan sangat penting dalam ajaran Islam. Motivasi dan etika menjadi penentu apakah perilaku kita kelak diterima oleh Allah atau tidak. Rasul yang mulia juga secara jelas dan tegas dalam haditsnya yang terkenal menyatakan bahwa target akhir dari risalah yang ia perjuangkan adalah terbentuknya masyarakat yang santun, beradab, dan berkhlak mulia (innamaa bu’itstu li utammima makarmal akhlaq).
Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 12 bahkan menyatakan bahwa mengedepankan prasangka (zhan), menelisik keburukan (tajassus), dan membicarakan keburukan orang lain (ghibah) adalah tiga serangkai keburukan yang sangat menjijikkan. Ketiganya berjalin berkelindan. Satu perilaku dipastikan terkait dengan perilaku lainnya. Berdasarkan ayat tersebut, berburuk sangka, memata-matai, dan meng-ghibah, sama sekali tidak bersesuaian dengan keimanan dan ketakwaan. Orang yang masih memendam perilaku seperti itu tingkat keimanan dan ketakwaannya dipastikan sangat rendah, atau malah tidak ada sama sekali.
Dalam berbagai teks hadits disebutkan bahwa sekali orang meng-ghibah, ia akan kehilangan pahala atas amalan baiknya yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Para ulama kita menyatakan bahwa ini adalah hukuman yang setara, karena harga diri (reputasi) seseorang yang sudah dibangun selama bertahun-tahun menjadi runtuh hanya dengan sekali ghibah yang dilakukan orang lain.
Inilah hal yang seringkali luput dari perhatian para politisi Muslim. Benar bahwa di negara kita, politik secara konseptual dipisahkan dari agama. Hanya saja, segala macam perilaku kita tidak pernah lepas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah. (Editorial/LiputanIslam.com)