Berdamai dengan Zionis Israel Adalah Delusi Konyol
LiputanIslam.com –Dalam ilmu logika, delusi (wahm) bermakna keyakinan akan sesuatu, padahal probablitasnya sangat rendah. Contoh delusi adalah: jenazah yang sudah dinyatakan secara medis sudah mati akan hidup lagi. Atau, kalau kita saat ini keluar rumah dan menyeberangi jalan di kompleks rumah kita, maka kita akan tertabrak kendaraan.
Bahwa ada kejadian di mana jenazah manusia bisa hidup lagi (fenomena mati suri), itu memang sebuah kenyataan. Demikian juga bahwa ada orang yang tertabrak di jalanan kompleks perumahan, itu juga sebuah fakta. Akan tetapi, jika peristiwa yang probabilitasnya kecil itu kemudian menjadi keyakinan dan landasan untuk bertindak, maka itu menjadi kekonyolan. Misalnya, gara-gara takut mayat hidup lagi, kita jadi enggan mengurus jenazah. Atau, gara-gara takut tertabrak kendaraan, kita enggan keluar rumah.
Delusi, sekali lagi, adalah kekonyolan. Anehnya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang terjebak dalam pemikiran delutif. Berpikir bahwa Zionis Israel bisa diajak berdamai adalah contoh dari delusi. Kenapa? Paling tidak, ada dua alasan untuk menunjukkan bahwa berdamai dengan Zionis Israel adalah delusi. Pertama, Zionis adalah penjajah dengan ambisi menguasai bentangan kawasan dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Eufrat di Irak. Mereka menyebut bentangan kawasan itu sebagai The Promissed Land, Tanah yang Dijanjikan. Hingga kini, tekad itu tak pernah mereka koreksi. Dengan demikian, berdamai dengan Israel bermakna berdamai dengan penjajah yang ambisius; penjajah yang tak merasa bersalah atas tindakannnya, serta terus berupaya untuk memperluas kawasan jajahannya itu.
Kawasan Palestina yang sekarang ini diduduki Israel hanyalah starting point untuk kemudian mereka akan meluaskan kawasan pendudukannya itu ke segala penjuru mata angin. Dalam peta Israel Raya yang menjadi dasar gagasan pembentukan Zionisme itu, kota suci Madinah Al-Munawwarah pun masuk ke dalam wilayah yang harus dikuasai Zionis Israel.
Kita bisa membandingkan dengan kasus Zionis-Palestina ini dengan kasus penjajahan Belanda atas Bumi Pertiwi, Indonesia. Kita bisa berdamai dengan Belanda ketika mereka akhirnya bersedia meninggalkan Indonesia. Artinya, perdamaian hanya akan bisa diwujudkan ketika penjajahan diakhiri. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, dikatakan bahwa perdamaian abadi hanya akan bisa diraih kalau pada saat yang sama, penjajahan diakhiri, bangsa yang terjajah memperoleh kemerdekaannya, serta ditegakkannya keadilan sosial. Maka, berdamai dengan Israel dalam kondisi negara ilegal itu masih enggan untuk melepaskan penjajahannya (malah mereka berambisi memperluas kawasan koloninya), adalah sebuah delusi yang nyaris meyentuh tingkat kemustahilan secara rasional.
Alasan kedua, mengapa berdamai dengan Israel adala delusi, terkait dengan pengalaman kekerasan yang dipraktekkan Zionis Israel yang sudah berlangsung bertahun-tahun serta masih terus terjadi hingga kini. Seperti yang kita ketahui, dalam beberapa waktu terakhir ini, kawasan-kawasan Palestina terus membara. Jenin dan Nablus di Tepi Barat, serta kawasan Gaza, terus dibombardir oleh serdadu Zionis Israel. Dalam logika penjajah Zionis, berdamai adalah jeda sejenak sebelum akhirnya melakukan serangkaian kekerasan lagi, dalam rangka meluaskan area permukiman Yahudi. Ini jelas bukan perdamaian yang bisa diterima oleh akal yang sehat, dan perdamaian semacam ini tak lebih dari tipu daya dalam rangka melanggengkan penjajahan.
Maka, sekali lagi, berdamai dengan Zionis Israel, selama rezim ini masih bertahan dengan intensitas kolonialisme, serta terus menerus menjadikan isu perdamaian sebagai trik penjajahan, adalah sebuah delusi konyol. Siapapun yang mempercayainya, ia telah mengkhianati akal dan hatinya; dan ia terlalu bodoh untuk melihat fakta demi fakta tentang kelicikan dan kekecaman Zionis Israel. (os/editorial/liputanislam)