Intoleransi : Ancaman Nyata Negeri Ini
Berbagai aksi intoleransi yang menggunakan kekerasan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir. Pembakaran desa kaum Syiah Sampang, penutupan gereja, pemboikotan terhadap Lurah Susan yang non-muslim, demo menentang peringatan Asyura, aksi pembubaran acara Mauludan di Yogyakarta, adalah di antaranya.
Wahid Institute mencatat, pada tahun 2012 terjadi 198 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan. Sementara Setara Institute mengungkapkan, ada 103 kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan berbagai ancaman, perusakan, kekerasan, bahkan penghilangan nyawa.
Bersamaan dengan itu, aksi-aksi kelompok yang menghendaki pengubahan dasar negara, yakni dari Pancasila menjadi dasar agama, juga makin terang-terangan. Bukan lagi gerakan laten. Sebut saja: kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berencana menggugat Pancasila sebagai Dasar Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada pula kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang terang-terangan menolak sistem demokrasi, nasionalisme, Pancasila, dan NKRI.
Sayangnya, sikap pemerintah masih mengecewakan dan tidak tegas menyelesaikan berbagai masalah ini. Padahal semua kejadian ini jelas mengancam eksistensi negara Republik Indonesia. Bangsa Indonesia ini sangat majemuk. Survei BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia ini dihuni oleh 1.128 suku bangsa. Agama penduduknya juga beragam. Selain lima ajaran agama besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha, terdapat juga ratusan aliran kepercayaan warisan leluhur Bangsa Indonesia. Di dalam masing-masing agama juga terdapat mazhab atau sekte. Para pendiri Republik Indonesia sudah menyadari kemajemukan ini sehingga menyodorkan konsep negara semua untuk semua, yang menampung rakyat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, dan adat-istiadat itu. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu golongan, tapi ‘semua buat semua’.
Aksi-aksi intoleransi jelas bertentangan dengan semangat ini. Penyeragaman hanya akan menimbulkan konflik, yang malah akan mengalihkan perhatian rakyat dari akar persoalan negeri ini. Ketidakadilan ekonomi, kemiskinan, atau korupsi, jauh lebih urgen untuk ditangani. Namun rakyat kini dibuat sibuk berkonflik dan saling membenci. Ketika negara terpecah-belah, siapakah yangakan mengambil keuntungan? Tak lain, kaum neokolonialis dan imperialis. Rakyat sibuk bertengkar, sementara mereka leluasa menguras sumber daya alam kita dan mengeruk uang dari negeri ini. Semoga kita semua bisa menyadari hal ini.(liputanislam.com)