Biang Kerok Krisis Pengungsi Suriah

0
606

2565 فلسطینی از آغاز بحران سوریه کشته شده اندKrisis Suriah kembali menjadi berita utama. Gelombang migrasi warga Suriah ke negara-negara Eropa menjadi topik pemicunya. Terlebih muncul foto jenazah seorang bocah kecil pengungsi yang ditemukan petugas keamanan di sebuah pantai di Turki. Segera saja gelombang simpati kemanusiaan menggelora di seluruh penjuru dunia.

Tanggapan muncul dengan sudut pandang yang beragam. Ada yang sinis dengan kecamuk di Timur Tengah yang menjadi representasi agama Islam. Krisis pengungsi Suriah seakan semakin menegaskan keyakinan bahwa negeri Muslim selalu saja menyimpan cerita dendam, kekerasan, dan pertumpahan darah.

Lihatlah, betapa seluruh faktor dari tragedi ini berlabelkan agama Islam. Para pengungsi itu umumnya orang Islam. Mereka bermigrasi dari sebuah negeri Muslim. Penyebabnya adalah perang di antara sesama ummat Islam. Lalu, ketika mereka harus pergi menghindari marabahaya, tidak terbersit sedikitpun dalam benak mereka untuk mencari perlindungan kepada negara tetangga mereka yang Muslim. Negara-negara Arab Muslim juga sama sekali tidak menunjukkan simpati, misalnya dengan cara menampung saudara-saudara mereka yang sedang ditimpa musibah itu.

Tanggapan paling krusial muncul dari sudut pandang membedah akar masalahnya. Krisis pengungsi Suriah beberapa hari terakhir ini bagaimanapun juga hanyalah akibat dari krisis yang melanda Suriah sejak empat tahun yang lalu. Tak mungkin warga Suriah melakukan migrasi andaikan negeri mereka baik-baik saja. Pertanyaan paling penting di sini adalah: siapakah biang kerok krisis Suriah?

Di sini, mengemuka dua pandangan yang berbeda, bahkan saling bertentangan. Yang pertama menganggap bahwa biang kerok krisis Suriah adalah diktatoritas rezim Bashar Assad. Narasi yang sejak awal digelorakan oleh Amerika Serikat, Barat, Turki, dan negara-negara Arab sekutu AS adalah: rakyat Suriah menghendaki perubahan pemerintahan. Akan tetapi, kehendak tersebut diberangus oleh Bashar Assad. Akhirnya, terjadilah pergolakan berkepanjangan yang mengobankan rakyat. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan di atas sangat jelas. Biang kerok semua krisis ini adalah Bashar Assad. Konsekwensi logis dari narasi ini: semua aktor politik internasional yang menunjukkan dukungan kepada Assad (semisal Iran) dengan sendirinya dianggap terlibat dalam kubangan lumpur bencana ini.

Narasi pertama ini paling banyak pengikutnya. Bahkan, kelompok-kelompok Islam yang sebelum ini meneriakkan penentangan kepada segala macam kepentingan AS, dalam kasus Suriah mereka mengambil sikap yang berbeda. Kita lalu menyaksikan, bagaimana Al-Qaeda, Jabhah An-Nusra, dan ISIS berada dalam satu barisan dalam upaya penggulingan rezim Assad.

Sementara itu, ada juga narasi kedua yang sangat minor. Suaranya samar dan sedikit pengikut (meskipun belakangan menunjukkan gejala mulai banyak didengar). Narasi kedua ini meyakini bahwa krisis Suriah adalah bagian tak terpisahkan dari konspirasi politik internasional. Narasi ini dibangun atas dasar fakta bahwa Suriah di bawah kepemimpinan keluarga Assad adalah satu-satunya negara Arab yang sangat konsisten melakukan perlawanan terhadap Israel. Hubungan Suriah dengan AS-Barat juga tidak harmonis, sebagai konsekwensi atas konsistensi Damaskus dalam melawan Israel. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa AS dan Barat adalah sekutu dekat Israel. Maka, memusuhi Israel berarti juga memusuhi (atau minimalnya mengambil jarak) dengan para sekutu terdekatnya.

Konsistensi Suriah dalam memusuhi Israel tersebut membuat Damaskus menjadi musuh nomor satu Israel di kawasan Timur Tengah. Berbagai upaya makar sering dilakukan untuk meruntuhkan rezim Assad. Lalu, ketika Arab Spring berembus, AS dan Israel merasa menemukan momentum. Maka, dijalankanlah proxy war dengan menggunakan isu demokratisasi, penegakan HAM, hingga isu perpecahan Sunni-Syiah. Puluhan ribu orang dari berbagai penjuru dunia berdatangan memenuhi panggilan jihad palsu. Akibatnya, Suriah menjadi tanah yang terus membara dengan api peperangan. Panas yang terus memanggang itulah yang membuat puluhan ribu warganya melakukan migrasi ke Eropa. (editorial/liputanislam.com)

DISKUSI: