Persekusi di Solo: Halusinasi Agama Kaum Intoleran
LiputanIslam.com –Kaum minoritas Syiah kembali menjadi korban persekusi. Kali ini, persekusi tersebut menimpa mereka yang tinggal di Solo. Pada hari Sabtu, 8 Agustus 2020, ratusan orang intoleran mendatangi acara Midodareni yang tengah berlangsung di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Kp. Mertodranan Pasar Kliwon, Surakarta.
Midodareni sebenarnya merupakan tradisi yang sangat biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan. Akan tetapi, orang-orang intoleran itu melakukan persekusi dan memaksa tuan rumah membubarkan acara tersebut.
Mereka juga merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga. Sembari meneriakkan takbir, penyerang meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.
Seperti yang diberitakan oleh berbagai media, sebelum peristiwa persekusi itu, beredar isu bahwa di rumah almarhum Segaf Al-Jufri itu akan digelar peringatan Idul Ghadir yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah 1441 H bertepatan dengan tanggal 8 Agustus 2020.
Maka, tanpa melakukan klarifikasi apapun, seperti kebiasaan mereka selama ini, kaum intoleran itu langsung melakukan penyerbuan ke rumah korban. Meskipun sudah dijelaskan berkali-kali bahwa itu adalah upacara Midodareni, kaum intoleran itu tetap keras kepala menyerbu, memaksa pembubaran, dan dengan kalap melakukan perusakan serta penganiayaan.
Ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka memang gemar menebar hoax, dan langsung melakukan eksekusi berdasarkan kepada berita hoax itu.
Halusinasi Agama
Dalam bahasa zaman sekarang, kelakuan kaum intoleran itu masuk ke dalam kategori halu (halusinasi). Mereka berkhayal menjadi ‘pahlawan Islam’ dengan cara melakukan persekusi dan pembubaran paksa sambil merusak dan melukai sekelompok orang yang mereka fitnah sedang melakukan kegiatan ‘sesat’ (tentu saja, sesat di sini adalah versi mereka). Yang mereka lakukan ini persis seperti kelakuan para teroris yang berangkat ke Suriah dengan halusinasi mau berjihad. Mereka pergi karena mengira bahwa di sana adalah medan pertempuran dan jihad untuk menumbangkan pemerintahan kejam Bashar Assad. Presiden Suriah itu dituduh sebagai orang Syiah yang membantai rakyatnya yang Sunni.
Padahal, puluhan tahun lamanya klan Assad memerintah di Suriah, tanpa pernah sedikitpun terdengar adanya konflik Sunni-Syiah. Syahid Syeikh Ahmad Al-Bouthi adalah ulama Sunni terkemuka di Suriah, dan hidup bertahun-tahun di negara itu dengan sangat nyaman. Mufti Suriah adalah Syeikh Ahmad Hassoun, seorang mermazhab Sunni. Begitu juga dengan jajaran menteri di kabinet pemerintahan Assad yang didominasi oleh oleh Sunni. Wajar, karena mayoritas warga Suriah adalah Muslim Sunni.
Para teroris dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, itu datang ke Suriah karena mereka kemakan hoax soal kekejaman Assad. Ratusan gambar dan video disebar dengan diberi caption bahwa foto dan video itu adalah ‘bukti’ kekejaman Assad. Padahal, dengan mudahnya, semuanya terbongkar. Semua foto dan video itu adalah palsu. Apa yang disebut sebagai korban kejahatan Assad sebenarnya adalah korban gempa bumi di Azerbaijan, anak-anak yang sengsara di Yaman, korban kecelakan lalu lintas di Turki, korban kekejaman Zionis di Palestina, dan lain-lain. Hampir tak ada foto asli yang berasal dari Suriah. Kalaupun ada, fotonya adalah hasil rekayasa photoshop, atau foto dan video yang sengaja dibuat secara profesional.
Lalu, berbekal informasi yang halu itu, mereka melakukan beragam tindakan paling biadab yang bisa dilakukan oleh manusia. Mereka menggorok leher para tawanan. Anak-anak Yazidi dipenggal satu persatu, dengan alasan perbedaan keyakinan. Maka tercorenglah wajah suci agama Islam.
Halusinasi agama semacam itu pula yang ditiru oleh kaum intoleran saat menyerang acara doa pernikahan di rumah seorang habib di Solo. Mereka merasa sedang berjihad menegakkan agama. Mereka merasa sedang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal, informasi yang mereka terima betul-betul keliru.
Pembelaan Ngawur
Sungguh miris mendengar pembelaan pengacara para tersangka kasus penyerangan ini, Hery Dwi Utomo, soal kelakuan klien-kliennya. Hery menyebut bahwa para tersangka menduga keluarga Habib Segaf Assegaf menganut aliran yang tidak sepaham dengan mereka, dan kelompok itu sedang meakukan kegiatan terlarang. Lihatlah, bagaimana pengacara para tersangka menjustifikasi perilaku perusakan yang dilakukan oleh orang-orang intoleran itu hanya berdasarkan kepada rumor dan persangkaan semata.
Situs nahimunkar.org yang selama ini dikenal banyak menyuarakan faham intoleransi menyebut persekusi itu dengan istilah “insiden”. Kemudian, situs tersebut juga mengatakan bahwa rumah Habib Segaf adalah tempat di mana pernah diadakan perayaan Asyura. Dari cara memberitakannya, situs tersebut seolah-olah meminta masyarakat memaklumi aksi persekusi tersebut, dan menyebutnya sebuah tindakan yang wajar, hanyalah sebuah insiden biasa, mengingat di tempat itu pernah diadakan peringatan Asyura oleh kaum Syiah. Silakan pembaca memberikan penilaian, apakah logika yang dibangun oleh situs ini rasional dan berakhlak atau tidak.
Dalam keterangan tambahan, situs nahimunkar mengaitkan momen acara Doa Pra Nikah dengan hari Raya Idul Ghadir, dan menyebut Idul Ghadir adalah hari ketika kaum Syiah menista 114 ribu sahabat Nabi. Sambil mengutip pendapat Tengku Zulkarnain, nahi munkar mengatakan bahwa penistaan terhadap sahabat sama saja dengan menafikan ayat Al-Quran, dan menafikan Al-Quran adalah tindakan murtad.
Jika ditelusuri lebih jauh, Anda akan mendapati hal-hal yang sangat mengerikan terkait dengan hukum yang layak dijatuhkan kepada siapa saja yang dihukumi murtad. Dalam pandangan kaum intoleran, seorang yang murtad dari ajaran Islam boleh dibunuh. Sungguh sangat mengerikan.
Cara berpikir mereka sungguh merupakan rangkaian halusinasi agama yang dibangun di atas halusinasi-halusinasi agama lainnya. Begini alur halusinasi mereka.
- Mereka berhalusinasi bahwa di tempat almarhum Habib Segaf itu ada perayaan Idul Ghadir. Faktanya, itu adalah Majelis Midodareni (majelis doa pernikahan)
- Mereka berhalusinasi bahwa pada acara-acara peringatan Idul Ghadir (seandainya memang ada peringatan, padahal kan tidak), orang-orang Syiah di Indonesia melakukan penistaan terhadap para sahabat Nabi. Tuduhan itu dilontarkan tanpa pernah bisa disertai dengan bukti apapun. Liputanislam telah berusaha mencari tahu, barangkali ada satu saja bukti yang menunjukkan bahwa di rumah almarhum Habib Segaf itu, pernah diadakan majelis penistaan sahabat Nabi yang dilakukan pada peringatan Idul Ghadir. Faktanya memang tidak ada. Jadi, ini adalah halusinasi kedua.
Di Youtube memang beredar video orang-orang Syiah di London, Inggris, yang merayakan Idul Ghadir sambil melaknat sahabat. Akan tetapi, liputanislam sudah menurunkan investigasi yang membuktikan bahwa itu adalah kelompok Syiah ekstrem yang jumlahnya sangat sedikit, dan aktivitas mereka juga dibiayai oleh Inggris. Pemimpinnya, yaitu Yasser Al-Habib, sama sekali bukan ulama. Para ulama dan lembaga resmi Syiah seluruh dunia sepakat menyatakan bahwa Yasser Al-Habib telah menodai ajaran Islam, khususnya mazhab Syiah.
Ayatollah Ali Khamenei secara tegas mengatakan bahwa Syiah yang dipropagandakan melalui media massa di London maupun Amerika adalah Syiah yang tidak berada di jalur sesungguhnya. Inilah mereka yang berkedok Syiah padahal sesungguhnya antek Zionis.
Yasser Al-Habib juga sangat membenci para ulama besar Syiah seperti Ayatollah Ali Khamenei (Iran) dan Ayatollah Ali Sistani (Irak). Berkali-kali ia melontarkan kecaman kepada para ulama besar Syiah menyebutnya sebagai para pengkhianat atau para penakut.
https://liputanislam.com/tabayun/jawaban-untuk-voa-islam-3-yasser-habib-kok-didengar/
Adapun terkait dengan posisi para sahabat Nabi radiallahu ‘anhum dalam pandangan orang-orang Syiah yang sebenarnya, hal itu bisa dilihat dari fatwa paling mutakhir dari Ayatollah Ali Khamenei sebagai marja agung yang menyatakan bahwa haram hukumnya bagi orang-orang Syiah menghina dan menistakan figur-figur yang dimuliakan oleh seluruh Muslim Sunni, termasuk para sahabat dan istri Nabi.
https://liputanislam.com/tabayun/menjawab-teguran-voa-islam-bagian-ketiga/
- Halusinasi ketiga terkait dengan konsekwensi hukum agama menyangkut perilaku menista sahabat. Tapi, lagi-lagi harus diingatkan bahwa perilaku menista sahabat itu sebenarnya tidak pernah ada pada peringatan Idul Ghadir, dan juga peringatan-peringatan hari besar Syiah lainnya di rumah almarhum Habib Segaf. Kaum intoleran itu berhalusinasi bahwa menista sahabat sama dengan menolak Al-Quran; menolak al-Quran sama dengan murtad; dan orang yang murtad boleh dibunuh. Karena pada dasarnya adalah halal dibunuh, maka, jika “hanya” merusak dan melukai hingga patah kaki sih masih merupakan tindakan yang ringan.
- Halusinasi yang terakhir terkait dengan proses penegakan hukum di saat mereka menemukan adanya perilaku kesesatan. Sekali lagi, harus diingatkan bahwa apa yang mereka sebut sebagai perilaku sesat itu sebenarnya tidak ada. Tapi, dalam kasus ini, kaum intoleran mengambi sikap bahwa jika ada “dugaan penyimpangan dalam urusan agama”, mereka berhak melakukan tindakan hukum. Padahal, Indonesia adalah negara hukum, lengkap dengan perangkat penegak hukumnya. Segala dugaan pelanggaran hukum hanya boleh ditangani oleh penegak hukum.
(os/liputanislam)