Standar Ganda AS dan Indonesia

0
512

LiputanIslam.comKita bisa membohongi semua orang untuk sementara waktu, atau membohongi sebagian orang selamanya, tapi kita tidak akan bisa membohongi semua orang selamanya…

Lambat laun, operasi false flag dalam tragedi11 September terkuak. Serangan ke World Trade Center (WTC) di New York, menewaskan sekitar 3.000 orang. Berbagai analisis mengungkap kejanggalan serangan tersebut. Bagaimana bisa, pesawat yang menabrak bagian tengah gedung, mampu menghancurkan hingga ke dasar bangunan?

Serta merta, AS menunjuk kelompok teroris Al-Qaeda sebagai pelaku pengeboman. Lalu AS melakukan invansi ke negara-negara berdaulat di Timur Tengah, atas nama “Perang Melawan Teror”.

Setahun pasca hancurnya gedung WTC, aksi terorisme singgah di Bali, Pulau Dewata nan cantik. Malam itu, 12 Oktober 2002, terjadi pengeboman di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Tercatat 202 korban kehilangan nyawa dan 209 lainnya mengalami luka-luka. Kebanyakan korban merupakan wisatawan asing. Bom Bali I merupakan peristiwa terorisme terbesar dalam sejarah Indonesia.

Karena peristiwa itu, pemerintah menerbitkan UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Lalu, sebagai implementasi atas UU tersebut, dibentuklah Densus 88 Antiteror. Hingga kini, Densus 88 sudah menangkap 700 tersangka teroris dan lebih dari 60 lainnya ditembak mati, termasuk para gembongnya.

Sepintas ada kemiripan antara langkah yang ditempuh AS dan Indonesia dalam menyikapi aksi teroris, yaitu dengan ‘memerangi terorisme’. Hanya saja, dalam hal ini AS menggunakan standar ganda. Di satu sisi memerangi terorisme, sedangkan di sisi lain, AS juga membentuk, melatih, mendanai kelompok teroris tersebut, guna mencapai kepentingannya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sepertinya, Indonesia meniru dengan sangat baik standar ganda yang dicontohkan AS. Dengan membentuk pasukan anti teror, Indonesia seolah-olah sedang menunjukkan diri sebagai negara yang serius memerangi terorisme.

Namun, kenyataan membuktikan bahwa Indonesia tetap membiarkan ideologi menyimpang yang menjadi akar terorisme, tumbuh dan berkembang pesat. Pemerintah Indonesia membiarkan kelompok-kelompok intoleran, yang nyata-nyata merupakan pendukung teroris, tetap eksis di Indonesia dan membesar. Pemerintah membiarkan saja situs-situs radikal mencuci otak masyarakat awam. Pun ketika kelompok pro-teroris ini melakukan berbagai aksi yang melawan Pancasila dan Konstitusi, melakukan intimidasi dan manipulasi, pemerintah tetap memilih untuk berdiam diri. (ba)

DISKUSI: