Ketum PBNU: Al-Qur’an Ditafsirkan Sembarang Itu Berbahaya

0
1029

Sumber: nu.or.id

Jakarta, Liputanislam.com– Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan sembarang orang. Sebab, hal itu akan sangat berbahaya. Menurutnya, Al-Qur’an harus disampaikan oleh orang yang betul-betul memahaminya.

Hal itu disampaikan Kiai Said saat memberikan ceramah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Nurul Irfan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rawamangun, Jakarta, seperti dilansir NU Online, pada Jumat (17/11).

Ia mengatakan, ada berbagai macam tipe ayat Al-Qur’an. Ada ayat yang muhkamah, ayat yang jelas, tidak butuh penafsiran. Ia mencontohkan keseluruhan Surat al-Ikhlas. Tipe yang berlawanan dengan muhkamat adalah mutasyabihat, ayat Al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran. Dalam hal ini, ia mencontohkan ayat yang menjelaskan tentang batalnya wudhu, aw laamastum al-nisa.

Kiai Said menjelaskan penggalan ayat itu dari perspektif empat mazhab. Imam Syafi’i, jelasnya, menyatakan bahwa sentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki, sengaja ataupun tidak, disertai syahwat ataupun tidak, dihukumi batal wudhunya. Sementara, Imam Hanafi menafsiri laamastum sebagai bahasa halus dari hubungan badan. Jika tidak begitu, wudhunya tidak batal. Adapun Imam Maliki dan Imam Hambali berpendapat saling menyenggol itu batal, bukan satu pihak.

“Jadi enggak gampang (memahami ayat Al-Qur’an) maksud saya,” katanya.

Ada juga ayat Al-Qur’an yang mutlaqah (absolut) dan muqayyadah (tidak mutlak). Dua tipe ini, ia contohkan pada ayat tentang perintah menaati Allah dan Rasul-Nya yang bersifat mutlak dan menaati pemerintah yang bersifat tidak mutlak, yakni dengan syarat pemerintah yang baik. “Ini loh saya tunjukkan rumitnya paham Al-Qur’an,” ucapnya.

Kemudian ada ayat haqiqi (realistis) dan majazi (metaforis). Untuk tipe kedua ini, Kiai Said menjelaskan ayat yadullahi fauqa aydihim, tangan Allah di atas tangan mereka. Tangan  yang dimaksud bukan secara fisik, melainkan kekuasaan.

“Pun dengan wajhu rabbika, bukan wajah Allah, tetapi Zat-Nya. Ayat wa jaa rabbuka wal malaku shaffan shaffa, juga bukan Allah datang, tetapi perintah atau kebijakan-Nya,” terangnya. (ar/NU Online).

 

 

DISKUSI: