Koalisi Segi Tiga Rusia, China dan Iran Menyongsong Pemerintahan Biden
LiputanIslam.com – Aliansi segi tiga Rusia, China, dan Iran sedang menanti pemerintahan presiden baru AS Joe Biden. Rusia berharap AS akan berantakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, dan kemudian berdiri tatanan dunia baru, sementara dengan koalisi itu Iran menjadi sepenuhnya berbeda jika hendak bernegosiasi lagi dengan AS untuk membuat kesepakatan nuklir baru.
Selama empat tahun masa kepresidenan Donald Trump di AS para pejabat Iran tidaklah diam berpangku tangan. Meski dikenai embargo mereka berhasil mengembangkan pengaruh regionalnya, menjaga stabilitas dalam negeri, dan mengatasi aksi-aksi demo yang disponsori oleh AS dan Eropa untuk merongrong pemerintahan republik Islam.
Koalisi segi tiga itulah yang telah membuat Trump menggila dalam menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi terhadap ketiganya sehingga koalisi itu justru semakin solid, sementara kekayaan negara-negara Arab sekutu AS di Teluk Persia yang dihamburkan untuk memborong senjata malah tak dapat memberikan perlindungan kepada mereka.
Dua manuver militer telah digelar sebagai puncak aliansi tripartit tersebut; pertama di perairan Teluk Persia, Laut Oman, dan Samudra Hindia pada Desember 2019; dan kedua di Kaukasus pada September 2020.
Ketiga negara, bersama dengan India dan negara-negara Asia dan Afrika lainnya, berupaya membentuk tatanan keamanan global baru di atas reruntuhan sistem AS saat ini, yang didukung oleh mata uang terpadu untuk menjatuhkan dolar dari tahta globalnya, dan ini bisa menjadi ancaman terbesar bagi AS dan sekutunya.
Karena itu, pakar Mike Davidkov dalam wawancara dengan surat kabar Rusia Vzglyad meramal bahwa AS akan berantakan dalam 10 tahun ke depan. Merujuk pada seruan Ellen West, kepala Partai Republik di Texas, untuk pembentukan “persatuan negara bagian” yang mematuhi konstitusi AS dan mencakup negara-negara dengan mayoritas warga kulit putih, Davidkov menyebutkan bahwa California, Oregon dan Washington membentuk koalisi negara bagian barat secara independen dari Pusat Federal dalam penanganan pandemi Covid-19.
Pemilihan presiden terbaru di AS memperlihatkan polarisasi yang parah di negara ini, karena setengah dari rakyatnya menerima hasilnya, sedangkan paruh keduanya meyakininya curang, sementara iktikad Biden untuk menyatukan negaranya tampak sangat sulit jika bukan mustahil.
Iran tidak akan berada dalam posisi lemah dalam negosiasi perjanjian nuklir mendatang, menurut banyak ahli Rusia, termasuk Davidkov. Iran telah mengembangkan persenjataan rudal yang sangat besar. Laporan intelijen AS yang dirujuk oleh situs Kementerian Luar Negerinya mengkonfirmasi bahwa Iran saat ini sedang bernegosiasi dengan Moskow membeli pesawat Su-30, tank T-90, dan sistem pertahanan rudal S-400 setelah embargo senjata dicabut dan upaya Trump di Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjangnya gagal pada Agustus lalu.
Di sisi lain, China telah mengalokasikan dana sebesar 400 miliar dolar untuk berinvestasi di sektor minyak, gas dan petrokimia, pelabuhan dan jalan darat, untuk membangun jaringan pipa yang membentang dari Selat Hormuz ke Samudera Hindia, untuk membiayai dan melengkapi pelabuhan ekspor Iran di Chabahar dan Jask, dan untuk menambah kekuatan Iran secara ekonomi dan militer.
Lantas di mana posisi negara-negara Arab di tengah semua perkembangan ini? Mereka, atau sebagian besar dari mereka, sedang asyik menormalisasi hubungan dengan Israel demi membeli perlindungan dari rezim penjajah Palestina tersebut serta membeli kesepakatan-kesepakatan persenjataan yang selama ini tak dapat mencegah rudal Yaman yang telah menyasar fasilitas minyak Aramco milik Arab Saudi di Jeddah, Abqaiq dan Khurais. (mm/railayoum)
Baca juga: