Drama Rekonsiliasi Saudi-Qatar dalam KTT GCC
Teheran, LiputanIslam.com – Beberapa pentolan negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC) telah mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di kota Al-Ula, Arab Saudi, Selasa 5 Januari 2021.
Bagi pemerhati yang mencermati mimik wajah mereka yang berpartisipasi dalam pertemuan rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar itu tak sulit untuk menangkap indikasi ketertekanan dan kebingunan mereka, apalagi pertemuan itu sama sekali tak menghadirkan suasana selebrasi atas apa yang seharusnya dipandang sebagai “prestasi besar”. Penandatanganan deklarasi KTT juga kosong dari nuansa greget dan animo, dan sebagian orang bahkan memilih segera meninggalkan aula pertemuan segera setelah penandatanganan.
Adalah Jared Kushner, menantu dan penasehat Presiden Amerika Serikat (AS), orang yang terdepan dalam panorama baru GCC tersebut. Dia mengikuti semua detailnya, baik melalui telefon sebelum tiba di Saudi maupun di balik layar KTT menjelang penyelenggaraannya. Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan itu dirancang dan diumumkan secara tergesa-gesa hasil dikte AS dalam rangka tekanan atau bahkan mungkin agresi dan perang terhadap Iran yang tentunya akan memanggang kawasan Teluk Persia dan Timur Tengah secara umum.
Aksi saling peluk secara tiba-tiba antara Saudi dan Qatar setelah sekian lama bersiteru, itupun di depan kamera, tidak akan berarti sikap saling memaafkan dan melupakan persiteruan dan tindakan saling hujat selama tiga tahun sebelumnya. Urusan permusuhan dan persaingan antarkabilah Arab sudah memiliki watak tersendiri sejak sekian abad silam sehingga tak semudah itu memudar.
Capaian yang paling menonjol dalam KTT itu ialah pembukaan segera zona udara serta perbatasan darat dan laut Saudi-Qatar, dan ini tak lain adalah hasil kehendak AS semata. Trump yang dalam beberapa hari ini berperilaku seperti banteng babak belur tak dapat mengobarkan perang terhadap Iran jika zona udara dan perbatasan antaranegara yang akan menjadi ajang perang tertutup.
Adalah fakta bahwa AS dalam semua periodenya, baik di tangan Republikan maupun Demokrat, bukanlah negara yang bersimpati kepada persatuan Arab. Sebaliknya, AS tak henti-hentinya menebar benih perselisihan, perpecahan, dan perang di antara mereka demi menggelamkan mereka ke dalam genangan darah. Irak, Libya, Yaman, dan Suriah adalah buktinya yang paling nyata.
Karena itu, rekonsiliasi dan kerukunan antara mereka lebih merupakan opsi terakhir bagi AS, terutama ketika Trump sedang depresi menjalani hari-hari terakhirnya di Gedung Putih akibat badai tekanan yang menimpanya dari semua arah di mana yang terbaru di antaranya ialah kehilangan status partainya sebagai mayoritas di Senat setelah dia kalah pilpres.
Bisa jadi ada benarnya asumsi sebagai orang bahwa pihak-pihak yang bertikai di Teluk sudah mulai jenuh setelah mendekati tahun keempat. Hanya saja, rekonsiliasi dengan cara demikian tidaklah wajar sehingga bukan tak mungkin kesepakatan Al-Ula hanyalah semacam gencatan senjata, entah untuk jangka panjang atau jangka pendek.
Pengkondisian suasana melalui tatap muka langsung merupakan cara paling praktis menuju rekonsoliasi, padahal dalam kesempatan itu tak terlihat bagaimana nanti praktiknya dalam penyelesaian persiteruan antara keduanya. Adegan saling peluk semata di depan kamera televisi tidak otomatis mencerminkan bahwa mereka akan segera dapat menggulung berbagai persoalan dan menyembuhkan luka serius antara keduanya.
KTT Al-Ula dengan semua capaiannya itu memang tergolong unik, namun dapat dipastikan bukan sebatas urusan kedaualatan di kawasan Teluk. Betapa tidak, di saat AS sendiri sedang mendidih dan bergolak, Kushner malah sedemikian peduli kepada urusan rekonsiliasi di Teluk Persia, dan seakan meremehkan tantangan tersengit yang dialami kubunya sepanjang sejarahnya.
Trump telah memangkas masa liburannya dan kembali ke Gedung Putih, dan kemudian seorang teman dekatnya menulis di Twitter bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada Januari ini, dan bahwa Trump tidak akan pergi tanpa pertarungan yang akan berlarut-larut. Karena itu, wajar jika ada kekhawatiran terhadap kemungkinan tindakan konyol Trump yang menjurus pada perang dan pertumpahan darah. (mm/raialyoum)
Baca juga:
Iran Kecam Deklarasi KTT Dewan Kerjasama Teluk di Saudi
Ansarullah Yaman Sambut Baik Pemulihan Hubungan Saudi-Qatar