Apa yang Mesti Dipahami Bin Salman dari Kekuatan Yaman?
LiputanIslam.com-Banyak orang tahu, dan hanya sedikit yang mengakui, bahwa Koalisi Saudi sudah kalah sejak pekan-pekan pertama agresi mereka.
Ketika engkau memulai perang dan mengklaim dirimu sebagai pihak terkuat dalam perang tersebut, namun engkau tak bisa meraih kemajuan di pekan-pekan pertama perang, berarti kau sudah kalah dalam perang.
Inilah yang bisa dikatakan tentang perang di Yaman yang dimulai lebih dari 5 tahun lalu, tapi tak membawa hasil apa pun bagi penyulutnya. Padahal dalang perang ini sudah menghabiskan milyaran dolar untuk melengkapi pasukannya dengan berbagai senjata modern.
Dalam bahasa, “preventif” berarti menghentikan sesuatu dan mencegah kelanjutannya. Makna ini sesuai dengan respons bangsa Yaman terhadap agresi Koalisi pada tahun pertama dan kedua.
Namun akhir-akhir ini, terutama dalam 2 tahun terakhir, kinerja militer Yaman telah melampaui kata “preventif.” Sebab, serangan militer mereka mencakup serangan udara ke bandara Abu Dhabi, perusahaan Aramco, dan yang terbaru, peluncuran rudal Quds dan Dzulfiqar ke utara Riyadh.
Perkembangan dalam kemampuan tempur Yaman ini memiliki makna-makna militer dan refleksi politis tersendiri.
Di Medan Perang
Dengan mengakui hantaman rudal Yaman ke sejumlah kawasan di Saudi, berarti Riyadh mengakui Operasi Preventif IV Yaman. Meski Otoritas Saudi berusaha mengesankannya sebagai hal remeh, namun hasilnya justru akan berbalik. Sebab, ketika rudal buatan Yaman bisa melenggang hingga ibu kota Saudi tanpa ada halangan, operasi tersebut layak dilabeli “kesuksesan besar dalam mematahkan kekuatan militer mahal Saudi.”
Mungkin sebagian orang, demi menghibur diri, akan mengatakan bahwa itu terjadi karena sistem pertahanan AS tidak menghadang rudal-rudal Yaman. Namun pertanyaan utama di sini adalah: kenapa rudal-rudal Yaman ‘dibiarkan’ melenggang hingga Riyadh, padahal bisa dihadang sistem pertahanan AS? Jika memang begitu, lalu di manakah sistem-sistem pertahanan Riyadh, dan semua alat serta radar yang dibelinya dari Israel?
Di Kancah Politik
Jelas bahwa tak satu pun sekutu Bin Salman yang bersedia menyertainya dalam melanjutkan agresi ke Yaman.
UEA sudah beberapa bulan mundur dari permainan ini. Kini Abu Dhabi memfokuskan upaya untuk menjaga capaiannya di selatan Yaman, terutama di Aden dan pulau Socotra. Para panglima perang dari berbagai negara, yang di awal agresi berfoto bersama untuk propaganda militer Saudi, sudah lama tak terdengar kabarnya.
Terkait AS, Bin Salman juga telah menghabiskan ‘depositonya’ di Pemerintahan Donald Trump. Awalnya, dana sebesar 450 milyar dolar yang diberikan Bin Salman ke Trump saat berkunjung ke Riyadh, akan digunakan untuk mendukungnya bertakhta di singgasana Saudi. Namun, Bin Salman sudah keburu menghabiskannya untuk membeli dukungan Trump saat ia menangkapi puluhan pangeran dan membunuh Jamal Khashoggi.
Setelah itu, Bin Salman juga melakukan kekeliruan lain, yaitu dengan meningkatkan produksi minyak Saudi beberapa bulan lalu. Ini membuat Trump marah besar, sampai-sampai Bin Salman terpaksa mengusir stafnya keluar dari ruangan agar mereka tidak mendengar suara amarah Trump saat meneleponnya.
Orang bilang, “mengakui kekeliruan adalah sebuah keistimewaan.” Setelah Operasi Preventif IV Yaman kemarin, tampaknya tidak ada lagi banyak opsi di meja Saudi. Bisa jadi, dalam waktu dekat Bin Salman akan mendengar saran dari majikan AS-nya, juga para sekutunya, agar “sebaiknya ia mengakui kekalahan.”
Hossein Mousavi (af/alalam)
Baca Juga:
Analis Yaman: Houthi Telah Mempermalukan Saudi di Mata Dunia
Ansharullah: Ekonomi Saudi Bisa Selamat dengan Mengakhiri Koalisi Agresi ke Yaman