Erdogan, Anda Mau Apa Lagi?

0
1002

LiputanIslam.com –Petualangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Suriah tampaknya mendekati hari-hari terakhirnya. Bahkan, lebih jauh lagi, ini bisa menjadi hari-hari terakhir karir politik Erdogan sebagai pemimpin Turki. Dan Turki sebagai satu-satunya negara Muslim Eropa, bisa jadi akan memasuki babak baru perjalanan sebuah bangsa tanpa seorang Erdogan.

Perkembangan di lapangan pertempuran, khususnya di kawasan Idlib, Suriah, menunjukkan bahwa posisi Turki makin terdesak. Puluhan tentaranya tewas dalam pertempuran melawan tentara Suriah yang mendapatkan bantuan langsung dari tentara Rusia. Militer Rusia juga sudah menegaskan akan tetap bersama dengan tentara Suriah dalam operasi pembasmian teroris Idlib, dengan konsekwensi apapun, termasuk jika terpaksa harus menembak jatuh pesawat Turki.

Di sisi lain, Turki juga tak bisa mengharapkan bantuan apapun dari siapapun. AS yang selama ini berada dalam satu barisan bersama Turki dalam perang Suriah sudah mulai ‘cuci tangan’. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), di mana Turki menjadi salah satu anggotanya, juga menyatakan tak akan ikut campur, karena Turki tidak dalam posisi sedang diserang, melainkan malah sedang melakukan agresi ke teritori sah negara lain.

Turki makin kehabisan opsi, dan dihadapkan kepada dilema yang sama-sama pahit. Meneruskan perang melawan tentara Suriah –yang makin kuat karena mendapatkan dukungan penuh Rusia– adalah sebuah tindakan bunuh diri. Dengan kekuatan militer yang berbeda sangat jauh, rasanya mustahil bagi Turki untuk bisa memenangi perang melawan Rusia. Akan tetapi, membiarkan para teroris kalah di Idlib, hal itu bermakna Turki akan ‘kebanjiran’ para teroris dari yang terdesak dari Idlib menuju perbatasan Turki-Suriah.

Idlib memang kota yang sangat dekat dengan perbatasan Turki. Jarak Idlib dengan Cilvegozu, kota di Turki yang berbatasan dengan Suriah, hanyalah 42 kilometer, cukup ditempuh perjalanan mobil selama 50 menit. Selain itu, Idlib (bersama Aleppo) adalah kota yang menjadi tujuan pertama para teroris yang dulunya membanjiri Suriah melalui Turki di awal krisis Suriah beberapa tahun lalu. Karena para teroris beserta keluarga dan anak-anaknya itu datang ke Idlib melalui Turki, maka, ketika kini mereka terdesak, satu-satunya pilihan adalah kembali ke perbatasan negara tempat mereka masuk dahulu, yaitu Turki.

Ketika para teroris yang jumlahnya puluhan ribu itu membanjiri perbatasan, Turki akan dihadapkan kepada persoalan yang luar biasa pelik. Bukan perkara mudah menampung dan mengurusi para kombatan yang kalah perang, marah, dan mustahil diajak negosiasi. Turki harus bersiap-siap menghadapi beragam krisis dalam negeri. Bisa jadi, langkah yang diambil oleh Turki adalah ikut memerangi para teroris itu, demi sebuah kepentingan nasional yang memang harus diprioritaskan.

Itulah pilihan-pilihan sulit yang sedang dihadapi Turki. Tapi memang itulah konseksekwensi dari petualangan perang seorang Erdogan, yang bermimpi hendak membangkitkan lagi imperium Ottoman. Sekarang, dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan itu, kira-kira langkah apakah yang akan diambil oleh Erdogan? (os/editorial/liputanislam.com)

DISKUSI: