Menyusuri Museum Ibnu Sina
Pagi itu langit Hamadan terlihat benderang, namun angin dingin tetap terasa kuat. Bagiku, berada di awal musim gugur kota Hamedan, serasa menerima jamuan musim dingin.
Kota yang terletak 360 km sebelah tenggara Teheran ini, memang termasuk salah satu kota terdingin di Iran. Biasanya, di musim panas (sekitar Juni-Agustus), masyarakat dari berbagai penjuru Iran akan membanjiri kota ini untuk mereguk udara segar yang dihadiahkan oleh sejuknya pegunungan Alvand. Namun, mulai bulan November, kota ini akan membeku disiram salju. Bahkan, suhu bisa turun sampai dua dijit di bawah nol. Untunglah, kedatanganku kali ini, dua bulan lebih awal dari musim beku.
Selain karena berbagai panorama alamnya yang indah, alasan utama yang membawaku singgah ke Hamedan adalah museum Ibnu Sina yang juga menjadi tempat pemakamannya. Kompleks museum ini dinaungi menara runcing dan dikitari taman yang rindang. Kutatap lekat ujung menara Avicenna yang menjulang ke angkasa, seakan ingin menembus batas biru.
Arsitektur bangunan ini memang terbilang unik, diilhami oleh Gombad-e Kabud, bangunan bersejarah pada masa kejayaan Islam yang terdapat di propinsi Golestan. Konon, menara setinggi 28,5 meter dengan 12 tiang ini, dibangun dalam rangka memperingati 1000 tahun kelahiran Ibnu Sina.
Ah… siapa yang tak mengenal nama besar Ibnu Sina, Avicenna, atau di Iran lebih dikenal dengan sebutan Buali Sina. Kecemerlangannya telah mewarnai abad keemasan Islam. Bagi kaum muslim, Ibnu Sina seumpama Aristoteles di tanah Yunan, Goethe bagi masyarakat Jerman, atau Leonardo da Vinci dalam era renaisans. Sumbangsih pengetahuannya merentang dari filsafat ketuhanan, kedokteran dan farmasi, hingga seni.
Di bagian bawah menara inilah, Ibnu Sina beristirahat untuk selamanya. Batu marmer dari pegunungan Alvand yang bertuliskan puisi-puisi karyanya, menutup jasadnya yang telah terbaring lebih dari seribu tahun lalu. Seluruh dinding ruangan dipenuhi pigura-pigura cokelat muda berisi tanaman obat-obatan yang sudah dikeringkan, di sampingnya tertulis nama serta khasiat tanaman tersebut. Sedangkan di setiap sudut ruangan ini, terdapat lemari kaca yang memuat toples-toples kecil berisi biji-bijian, rempah-rempah, serta buah yang dikeringkan. Semua biji, rempah, dan buah itu mengandung khasiat, seperti buah apricot, berfungsi untuk melembutkan kulit dan meredakan batuk, atau Viper Bugloss (Echium amoenum) berkhasiat menguatkan jantung dan syaraf, meredakan flu, dan menjaga sistem kekebalan tubuh.
Tampaknya, berbagai koleksi ini mengambil sumber dari buku The Canon of Medicine yang memang banyak memuat khasiat tumbuhan tradisional. Menyelami ruangan ini, sama sekali tak ada kesan seram dan menakutkan, bahkan aku merasa sedang berada di sebuah galeri obat tradisional, asri, bersih, dan benderang. Beberapa pengunjung yang datang, mendekati lokasi makam, menyentuhkan tangannya ke batu marmer sambil berdoa.
Saat keluar ruangan, Farshid, penjaga museum menyapa kami dengan ramah. Beberapa saat kami sempat berbincang hangat. Dari Farshid, kuketahui bahwa kompleks yang sekarang menjadi museum ini tadinya adalah rumah sahabat karib Ibnu Sina. Nama Ibnu Said, penduduk asli Hamedan. “Ibnu Said juga dimakamkan di tempat ini. Anda akan melihatnya di pintu masuk ruangan,” kata Farshid sambil menunjuk ke arah pintu masuk.
Kutinggalkan Farshid dengan buku tebalnya tentang raja-raja Persia, menuju dua ruangan lain yang saling bersebelahan. Di salah satu ruangan, terpajang berbagai peralatan sederhana yang pada masa Ibnu Sina digunakan sebagai alat bedah, seperti pisau, jarum, dan pundi-pundi tempat menyimpan obat.
Konon, selain melalui berbagai bacaan, Ibnu Sina mengasah kemampuan medisnya saat mengikuti berbagai peperangan. Di ‘laboratorium’ inilah ia menyelamatkan puluhan korban perang sembari mengembangkan metode bedah.
Selain seorang ahli medis yang handal, Ibnu Sina juga memiliki caranya tersendiri dalam melakukan pendekatan kepada para pasiennya. Dalam buku sejarah dikisahkan, saat diminta untuk mengobati putra raja yang dianggap gila oleh kalangan istana, Ibnu Sina justru menjadi orang pertama yang meyakinkan si pasien bahwa ia sehat dan baik-baik saja. Kepekaan ini, barangkali diperoleh karena ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain, menjumpai banyak orang dengan beragam karakter.
Satu hal lagi yang menarik di ruangan ini, sebuah lukisan besar Ibnu Sina yang terpasang menghadap pintu masuk. Penempatan photo ini terasa pas. Bagaimana tidak, setiap pengunjung yang memijakkan kaki pertamanya di ruangan ini, akan merasa sedang disambut oleh seorang tokoh bijak dan pintar.
Sejak kecil Ibnu Sina memang pembelajar sejati. Di usia belasan tahun ia sudah mulai membaca buku terjemahan Metafisika milik Aristoteles. Di masa kanak-kanak, ia sering mengajukan pertanyaan ‘tak wajar’ pada gurunya. Tapi, rasanya tak akan ada nama besar Ibnu Sina tanpa dukungan luar biasa dari Abdullah, sang ayah. Abdullah sangat tanggap dengan potensi yang dimiliki putranya. Ia pun berhijrah memboyong keluarga dari dusun kelahirannya ke kota Bukhara, demi mencari tempat belajar kondusif bagi Husain, nama kecil Ibnu Sina. Tak henti, ia mencari guru yang mumpuni sampai akhirnya bertemu Mahmud Massah, penjual sayur yang jago matematika.
***
Sebuah ruangan lain dengan rak buku besar dan beberapa bangku kayu berplitur coklat muda, begitu memukau. Di sinilah, berbagai manuskrip dan dokumentasi tertulis Ibnu Sina disimpan dengan baik. Bahkan, sebagiannya ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Buku-buku karya tokoh ternama yang mengulas hidup, kiprah, serta pemikiran Ibnu Sina juga turut diabadikan di tempat ini. Misalnya, buku Syahr-al Asbab Tib karya Samarqandi atau Syahr al-Qanun karya Ibnu Nafis. Sebuah rasa haru menyeruak saat aku menatap lembaran demi lembaran buku dan berbagai dokumentasi lain. Selama bertahun-tahun, tulisan itu terus dikenang, diapresiasi, dikritisi, hingga menginspirasi lahirnya karya-karya baru.
Saat kulihat buku The Canon of Medicine yang masih bersampul kulit warna hitam di area perpustakaan ini, sebuah monolog segera meluncur tak terbendung, “Ya, catatan inilah penghubung ilmu antar generasi…!” Melalui tulisan-tulisan ini, pemikiran Ibnu Sina mengilhami berbagai temuan baru, jauh setelah kepergiannya ke alam baka.
Konon, buku ini masih diajarkan di beberapa fakultas kedokteran di Eropa seperti Perancis dan Belgia sampai tahun 1650 M, dan hingga abad ke 16 buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebanyak 20 kali. Tradisi kepenulisan, rupanya pernah memeriahkan perjalanan sejarah Islam. Sayangnya, hari ini kita masih menyaksikan betapa banyak para cendikiawan dan ulama yang tidak terbiasa dengan tradisi menulis.
***
Hari mulai beranjak siang, kutinggalkan ruangan museum dengan perasaan beraduk. Berbagai catatan masih memenuhi pikiran. Saat berteduh di antara pepohonan rindang di area kompleks makam Ibnu Sina sambil menatap menara itu, pikiranku mulai mengembara.
Belasan tahun lalu, perkenalanku dengan sosok Ibnu Sina dimulai dari sebuah buku ringan yang memuat kisah para ilmuwan muslim. Penulis buku itu terilhami menulis bukunya setelah melihat foto-foto ilmuwan muslim yang terpampang di pintu masuk fakultas tempatnya kuliah, di jantung negeri Barat. “Ketika menatap foto-foto itu, ada getar tersendiri dalam diri saya bahwa sejarah perjalanan Islam pernah melahirkan orang-orang besar,” tuturnya dalam pengantar bukunya.
Seandainya penulis buku tersebut sekarang ada di sini, memandang menara runcing, menyelami kekayaan peninggalan Ibnu Sina, menatap tempat peristirahatannya, ah…entah apa yang akan dirasakan, diselami, dan ditulisnya. Sementara Ibnu Sina sendiri hanyalah bagian kecil dari kecemerlangan Islam yang bermuara pada mahaguru bernama Imam Shadiq as, sang mualim dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan. Mahasuci Allah yang telah menganugerahkan ilmu-Nya pada manusia-manusia pilihan.
Photo/Teks: Afifah Ahmad