Menembus Kota-kota Suci di Irak
Kini, kami akan berziarah menuju kota suci di Irak lainnya, Samarra dan Kadzimain.
Samarra, kota kecil di tepi sungai Tigris yang terletak 125 km sebelah Utara kota Baghdad. Berbeda dengan kota-kota di Irak lainnya, mayoritas penduduk Samarra bermazhab Sunni. Namun, siapa sangka tempat ini juga merupakan kota penting bagi kaum syiah, karena di sinilah tempat dua Imam besar disemayamkan, Imam Ali Alhadi dan Imam Hasan Askari.
Imam Hasan dikenal dengan julukan Askari yang berarti Laskar. Dahulu, semasa hidupnya Imam selalu berada dalam kepungan laskar-laskar yang dipersenjatai pedang, panah, dan tombak. Setiap gerak-geriknya pun selalu dipantau oleh musuh. Samarra memang tempat yang cukup luas, namun bagi beliau tak lebih dari sebuah penjara. Julukan Askari pun sepertinya masih berlaku jauh setelah sepeninggalannya. Kini, puluhan tentara Amerika yang bersenjata modern mengepung dan berjaga-jaga di setiap sudut kota Samarra. Rombongan kami, sampai harus melewati tiga kali pemeriksaan yang super ketat.
Terik matahari siang itu terus mengintai kami sejak pertama memasuki kota Samarra, apalagi saat itu belahan kota-kota di Irak memang sedang menyongsong musim panas. Kesejukan baru terasa ketika kumasuki area kompleks Haram. Tidak seperti di tempat pemakaman para Imam lainnya, kami tak disambut oleh keindahan kubah bermandikan warna keemasan. Di sini hanya ada kesunyian, batu-batu berserakan, dan bangunan yang diluluhlantakkan oleh serangan bom. Sungguh pemandangan yang menyayat hati bagi siapa saja yang melihatnya. Apalagi, ketika membandingkan dua gambar makam Imam sebelum dan sesudah terjadinya peledakan bom. “Wahai Imam betapa Engkau terzalimi, bahkan setelah wafatmu..!” Hatiku bergumam perih.Setelah makan siang, kami dipandu oleh salah seorang pengurus Haram untuk berkeliling kompleks. Di samping kiri gerbang utama Haram, terdapat tempat peribadatan Imam Mahdi sebelum masa keghaiban beliau yang dikenal dengan sebutan “mihrab”. Untuk sampai ke tempat tersebut, kami harus menuruni anak tangga. Lagi-lagi kusaksikan beberapa lokasi yang rusak akibat pengeboman. Rupanya, tempat ini pun tak luput dari sasaran kebrutalan para teroris. Setelah selesai berkeliling, kami pun kembali berkumpul di depan Haram untuk melanjutkan perjalanan ke kota Kadzimain melalui Baghdad.
Kota Baghdad hari itu sungguh terasa panas, seakan ingin membakar siapa saja yang berada di luar ruangan. Kota seribu satu malam yang digambarkan molek dalam dongeng, kini tampak bising oleh kendaraan yang lalu lalang. Wajah Baghdad pasca invasi Amerika tahun 2003 semakin memburuk. Krisis keamanan telah berdampak fatal pada kehidupan ekonomi masyarakat. Pemadaman lampu secara bergantian, menjadi pemandangan keseharian kota ini. Padahal, dalam catatan sejarah kota terbesar kedua setelah Teheran di Barat Daya Asia ini, di abad ke 8 dan 9 pernah menjadi kota terkaya di dunia. Namun hari ini, masyarakat harus bertahan di ruangan tanpa pendingin dengan suhu di atas 40 derajat.
Dari Baghdad, mobil yang kami tumpangi bergerak ke arah kota Kadzimain yang terletak 5 km dari pusat kota. Di tempat ini, terdapat dua makam manusia suci, Imam Musa Kadzim dan Imam Muhammad Jawad. Para peziarah ramai memadati pelataran Haram. Di kiri kanan jalan berjajar pertokoan hingga ke gerbang utama. Rombongan kami masuk melalui pintu gerbang khusus tanpa pemeriksaan. Sebelum menuju ke ruang utama Haram, kami berpencar untuk mengambil wudhu. Kubasuh wajah yang menghitam karena erangan panas dengan air kran, kesejukan segera menjalar ke sekujur tubuh. Kurang dari setengah jam, kami sudah kembali berkumpul di pintu masuk. Salah seorang pengantar rombongan memimpin doa izin masuk Haram. Dengan penuh khidmat, kami pun berdiri dan mengikuti bacaan doa.Detik-detik paling berkesan saat berziarah ke makam orang-orang suci adalah ketika berada di samping zarih dan menyentuhnya. Beribu harapan serta permohonan syafaat memenuhi benakku. Kuingin rasakan kehadiran Imam di setiap doaku, karena aku yakin dengan ayat al-Quran yang menyebutkan bahwa orang yang syahid di jalan Allah, sesungguhnya mereka itu tetap hidup. Pandanganku menerobos celah zarih yang terbuat dari perak, warna hijau menghiasi tempat peristirahatan Imam. Kusebutkan satu persatu kerabat dan teman dekatku, terutama orang-orang yang menjadi perantaraku untuk sampai ke tempat ini.
Setelah berziarah ke pusara dua Imam, rombongan kami sempat singgah ke makam asy-Syahid Muhammad Baqir al-Sadr. Dia adalah seorang intelektual sekaligus aktivis Irak yang terkemuka. Sadr tidak hanya meninggalkan karya-karya penting di dunia Islam, namun juga mewariskan keberanian untuk menentang pemimpin tiran hingga kesyahidan menjemputnya.
Sebelum meninggalkan area Haram, kami diajak untuk melihat dari dekat pelebaran kompleks Haram Kadzimain. Bangunan luar tempat ini, mengingatkanku pada arsitektur Persia di bundaran Isfahan. Di bagian bawah tanah, terdapat ruangan luas yang akan digunakan untuk para peziarah perempuan. Di akhir pertemuan, para pengurus Haram Kadzimain mengucapkan salam perpisahan sambil menyerahkan bingkisan hadiah kepada kami.Ada haru yang tak tertahan saat langkah kaki ini mulai menjauh dari pelataran Haram. Kota Kadzimain menjadi menutup rangkaian perjalanan kami mengunjungi kota-kota suci di Irak. Kurasakan keberkahan serta sambutan hangat dari para pengurus Haram di setiap kota.
Selama dalam perjalanan, kejadian demi kejadian terus kurenungkan. Sebuah pertanyaan pun akhirnya menyeruak, “Wasilah apa yang bisa membuatku sampai di sini?” Jawaban sejati mungkin tak mudah untuk kutemukan, namun tiba-tiba hati kecilku bersuara “Karena Qu’ran!” Ya, kedatanganku ke Irak ini atas undangan Syeikh Mansouri, ketua Darul Qur’an Haram Imam Husain as untuk mengikuti short course metode praktis menghafal Al-Qur’an. Maka, Ya Allah, dengan perantara para Imam dan manusia suci, berikanlah taufik kepadaku untuk selalu mencintai al-Qur’an! Ya Ilahi, jadikanlah al-Qur’an sebagai pendamping, wirid, dan petunjuk dalam keseharianku! (Ditulis oleh Sandi Ahmad, mahasiswa Indonesia di Iran/liputanislam.com)