Candi Cangkuang, Situs Hindu atau Islam?
Oleh: Tim LI
Setelah keluar dari situs rumah adat Kampung Pulo, maka baru kita membayar tiket masuk Candi Cangkuang di loket, hanya seharga Rp.3000.
Candi Cangkuang berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 4,5 m, lebar 4,5 m dan tinggi 8,5 meter dengan sebuah pintu masuk ke bilik utama di sisi timur. Candi terbuat dari batu andesit polos. Secara keseluruhan candi ini terdiri atas kaki, badan, dan atap. Kaki candi memiliki tangga yang diapit oleh dua pipi tangga menuju badan candi. Pada badan, terdapat bilik candi dengan arca Siwa dalam posisi duduk di punggung lembu (Nandi) dengan kaki kiri dilipat ke muka perut, kedua tangan arca patah, dibuat dari batu andesit, dengan tinggi 40 cm. Temuan arca Siwa yang merupakan dewa dalam Agama Hindu, menunjukan bahwa pembangunan candi untuk tempat pemujaan masyarakat yang beragama Hindu. Diduga oleh beberapa ahli bahwa candi dibangun pada abad ke-8 M, yang merupakan mata rantai yang hilang dari penemuan Candi Jiwa di Karawang (Abad ke-4), Candi di Wonosobo dan candi di Ambarawa pada abad ke-7 dan ke-8 M. Atap candi terdiri dari atas 4 tingkat yang bentuknya mengecil ke atas dengan kemuncak tunggal di atasnya.
Nah, di sinilah muncul pertanyaan kritis: mengapakah ada makam ulama atau pemuka agama Islam di samping candi Hindu? Dan mengapa ada candi Hindu, satu-satunya candi Hindu di kawasan Tatar Sunda? Bagaimanakah sejarahnya?
Menurut situs resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Candi Cangkuang ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966 berkat usaha penelusuran oleh ahli purbakala Drs. Uka Tjandrasasmita terhadap buku Notulen Bataviach Genoot Schap yang ditulis oleh orang Belanda bernama Vorderman tahun 1893. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuna Arif Muhammad dan sebuah arca siwa. Penelitian tahun 1967/1968 dengan cara penggalian di sekitar daerah tersebut menemukan pondasi kaki candi dan serakan batu bahkan oleh penduduk digunakan sebagai nisan makam.
Masih menurut situs Disparbud, pada tahun 1974 -1976 dilakukan pemugaran (rekonstruksi) bangunan candi yang dilaksanakan oleh proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional Depdikbud dan hasilnya seperti sekarang ini dan makam Arif Muhammad yang terletak di sebelah candi. Pemugaran dilakukan berdasarkan sisa pondasi dan sejumlah temuan lepas. Temuan batu-batu asli ± 20 % memang sangat terbatas, tetapi cukup mewakili bagian-bagian candi. Candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 8 Desember 1976.
Namun, benarkah demikian penjelasannya?
Sofia Abdullah, peneliti sejarah asal Bandung, menulis bahwa banyak kejanggalan-kejanggalan yang ia temukan saat mengamati candi ini, serta mempelajari berbagai sumber sejarah. Menurutnya, keberadaan Candi Cangkuang banyak menuai kontroversi di kalangan arkeolog dan akademisi, karena pembangunan Candi Cangkuang hanya berdasarkan dugaan dan tidak ada objek candi yang tersisa di lokasi situs tempat berdirinya candi ini sekarang. (Baca: Cangkuang, Situs Pemakaman Muslim Kuno yang Terlupakan).
Usai menikmati pemandangan di seputar candi dan makam, pengunjung dapat kembali menaiki rakit menuju pinggir Situ, sambil menikmati pemandangan danau (situ) yang indah. Di pinggir situ, tersedia banyak penjual makanan instan maupun jajanan tradisional, seperti jagung dan ketan bakar dengan bumbu kacang pedas, lumayan untuk mengganjal perut setelah lelah menjelajahi situs wisata Candi Cangkuang.(LiputanIslam.com)
—
Catatan penelitian sejarah Cangkuang, yang mencari jawaban mengapa ada candi Hindu di Tatar Sunda, dapat diikuti dari tulisan bersambung Sofie Abdullah di rubrik sejarah.