Polemik Piala Dunia U-20, Intip 3 Pelanggaran Hukum yang Dilakukan FIFA

Sumber: Sindonews
Jakarta, LiputanIslam.com–FIFA membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia tak lama setelah adanya suara penentangan atas kehadiran Israel. Terkait hal ini, Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) mengungkap beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan FIFA yang dapat menjadi dasar tuntutan ke Court of Sport Arbitration.
Pertama, Federasi Sepakbola Israel telah melanggar Statuta FIFA Pasal 72 ayat (2) bahwa “anggota asosiasi dan klubnya dilarang untuk bermain di teritori negara lain tanpa adanya persetujuan dari asosiasi negara tuan rumah”.
Sebagaimana dilaporkan oleh BDS, Israel mengirimkan 6 klub sepak bola Israel (Kiryat Arba, Givat Zeev, Maale Adumim, Ariel, Oranit, and Tomer) untuk berkegiatan di Tepi Barat yang merupakan wilayah pendudukan berdasarkan hukum internasional. Pada tahun 2015, Federasi Sepakbola Palestina telah pernah meminta FIFA untuk menjatuhkan sanksi pada Federasi Sepakbola Israel karena melanggar Pasal 72 ayat (2) Statuta FIFA.
Setelah itu, FIFA membentuk Monitoring Committee Israel – Palestine. Namun, keputusan final mereka adalah tidak memberikan sanksi kepada Israel dengan alasan “kompleksitas, sensitivitas persoalan yang ada, dan menyerahkan isu ini kepada hukum internasional”.
Sejumlah lembaga Hak Asasi Manusia internasional mengkritik keputusan ini. Salah satunya, Pakar Hukum Internasional dari Universitas Postdam dan Anggota The Permanent Court of Arbitration, Andreas Zimmerman, menilai bahwa FIFA telah melanggar Statuta miliknya sendiri.
Kedua, FIFA melakukan standar ganda terkait prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang di dalam FIFA Human Rights Policy tahun 2017.
Komisi independen PBB telah menegaskan bahwa penjajahan Israel atas Palestina “tidak sah di mata hukum internasional”. Demikian pula dengan organisasi HAM dunia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International yang mendeklarasikan Israel sebagai negara pelaku Apartheid.
Namun, FIFA tidak pernah memperlakukan Israel seperti halnya sikap ke Afrika Selatan soal perilaku Apartheid. Negara tersebut pernah dibekukan keanggotaannya di federasi dunia tersebut.
Menurut peneliti Amnesty International Indonesia, Saufa Ata Taqiyya, Israel memang resmi dianggap sebagai negara pelaku Apartheid.
“Soal itu ada laporan khususnya di tahun 2022. Human Rights Watch juga buat riset serupa dengan kesimpulan sama,” ujar Saufa.
Ketiga, keputusan FIFA membatalkan status tuan rumah Indonesia telah merugikan Indonesia secara materil. Padahal, jika tim nasional Israel memang dianggap tetap layak ikut serta dalam Piala Dunia U-20, FIFA dapat menawarkan pelarangan pengibaran bendera dan penggunaan simbol negara Aparteheid.
“FIFA tidak membuka tawaran itu. Sikapnya langsung membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Giri Ahmad Taufik.
Menurutnya, keputusan FIFA mencerminkan karakter arogansi. Padahal, pemerintah Indonesia sudah memberi jaminan keamanan bagi tim nasional Israel dan Presiden Jokowi bisa menganulir aspirasi para Gubernur yang menolak kehadiran tim nasional Israel.
“Ini soal arogansi FIFA. PSSI harus berani menguji persoalan ini secara hukum ke Court of Sport Arbitration. FIFA setidaknya harus ganti rugi materil,” imbuhnya. (ra/hukumonline)