Menyoal Kesejahteraan Guru Honorer dari Kasus Hervina

Hervina, Guru Honorer di Bone yang Dipecat Gegara Posting Gaji Berharap Kembali Mengajar (Zulkipli/detikcom)
Jakarta, LiputanIslam.com—Kasus pemecatan guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, karena keluhan besaran upah telah menarik perhatian publik terhadap isu kesejahteraan guru di Indonesia.
Kasus ini mulai banyak dibicarakan setelah adanya info viral seorang guru honorer di SD Negeri 169 Sadar, Kecamatan Tellu Limpoe, bernama Hervina yang bercerita di Facebook bahwa upahnya tidak menutupi kebutuhan sehari-hari
Hervina mengaku hanya mendapat upah Rp700 ribu per 4 bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Tak lama setelah itu, ia diminta kepala sekolah bekerja di sekolah lain.
Kasus Hervina, membuktikan keberadaan dilema para tenaga honorer hingga terpaksa bersikap ‘asal bapak senang’ (ABS) di sekolah.
Menurut Wakil Ketua 4 Forum Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non-Kategori 35 Tahun ke Atas (GTKHNK 35+), Yusak, guru honorer seringkali keberatan soal kebijakan kepala sekolah, namun tak bisa berbuat apa-apa karena takut opininya membuahkan dampak negatif terhadap kesejahteraan mereka.
“Ketika seorang guru honorer melakukan sesuatu yang mungkin belum tentu salah atau benar, tapi tidak sesuai dengan pandangan kepala sekolah, tentu berefek fatal. Sehingga guru honorer selalu dalam prakteknya, asal bapak senang,” kata dia pada Jumat (19/2), seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Yusak bercerita baru-baru ini ia mendapat laporan dari guru honorer di daerah yang mengaku gajinya dipotong sekolah dengan alasan selama pandemi Covid-19 kegiatan belajar tidak seoptimal masa normal.
Menurut dia dan guru honorer tersebut, kebijakan ini mencederai hak guru. Sementara, guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tidak dipotong gajinya.
Meski demikian, Yusak mengatakan guru honorer tersebut tak bisa berbuat apa-apa. Ketika disarankan mengungkap kebijakan itu ke media, guru honorer ketakutan disalahkan dan dipecat.
Ia menyebut guru honorer seolah selalu terjepit dalam keadaan yang menghimpit kesejahteraannya. Ketika ingin memperjuangkan hak mereka, kata dia, guru honorer tak punya perlindungan hukum.
“Makanya hampir tiap tahun guru honorer ada ketakutan tidak mendapat SK (surat keputusan) dari kepala sekolah. Karena statusnya memang enggak punya kekuatan. Guru honorer itu ada dimana secara hukum?” cetusnya.
Pemerintah daerah, kata Yusak, juga tak bisa dijadikan jaring pengaman bagi guru honorer ketika berhadapan dengan sekolah. Karena pada prakteknya, jika sekolah ingin melaporkan kasus ke dinas pendidikan harus melalui kepala sekolah.
Kondisi ini lah, lanjut dia, yang menyebabkan permasalahan dan kendala yang dihadapi tenaga honorer sulit diungkap ke publik. Ia mengatakan guru honorer masih dibayang-bayangi rasa takut untuk memperjuangkan haknya. Untuk itu, ia mendesak pemerintah aktif memperjuangkan honorer.
“Seharusnya pemerintah sudah dari dulu melek honorer. Makanya saya bilang, negara itu sebenarnya berhutang karena mempekerjakan honorer tanpa gaji yang layak. Apalagi statusnya juga nggak ada kekuatan hukum,” lanjut dia. (ra/cnn)