‘Sebelum Maju di Pilpres 2020, Trump Sudah Dipenjara’
Iowa, LiputanIslam.com –Masa depan Presiden Amerika Serikan Donald Trump diperkirakan sangat buruk. Bahkan, sebelum tahun 2020, tahun ketika masa kepresidenan Trump berakhir, ia mungkin sudah berada di balik jeruji karena sejumlah pelanggaran hukum yang ia lakukan. Dengan demikian, Trump tidak akan mungkin bisa maju kembali sebagai calon presiden. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Senator Elizabeth Warren Minggu (10/2) sebagaimana yang dilansir oleh Sputnik.
Warren yang baru saja mengumumkan pencalonan dirinya sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat mengatakan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump “mungkin sudah tidak bebas” pada tahun 2020. Pada saat itu, menurutnya, Trump mungkin telah terperangkap dalam penyelidikan penasihat khusus Mueller sebelum Trump memiliki kesempatan untuk menghadapi Warren di pemilihan Umum.
“Setiap hari ada tweet rasis, tweet yang penuh kebencian, sesuatu yang sangat gelap dan buruk. Inilah yang mengganggu saya. Pada saat kita mencapai tahun 2020, Donald Trump mungkin sudah bukan presiden. Bahkan, dia mungkin sudah tidak bebas,” kata Warren.
Serangan politik ini semakin memanaskan situasi politik nasional Amerika Serikat. Trump kembali menjadi objek serangan dari para pesaingnya. Berdasarkan kepada jajak pendapat yang dilakukan Fox News, tingkat kepuasan publik Amerika terhadap Trump merosot dengan tajam, dengan 37 persen mendukung dan 58 persen tidak. Hal ini terjadi setelah berakhirnya “Shutdown” atau penutupan sebagian institusi pemerintahan Amerika Serikatoleh Donald Trump.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Trump pernah menegaskan dirinya tidak akan mengakhiri shutdown sebelum Kongres AS menyetujui proposal dana USD5,7 miliar atau setara Rp80 triliun untuk pembangunan tembok di perbatasan AS dan Meksiko.
Namun di bawah tekanan politik, Trump akhirnya sepakat menandatangani perjanjian untuk mengakhiri shutdown pada Jumat 25 Januari dan membuka kembali pemerintahan untuk tiga pekan ke depan. Shutdown telah membuat sekitar 800 ribu pegawai federal dipaksa cuti atau bekerja tanpa dibayar. (os)