Netanyahu Kobarkan Perang Demi “Nafsu” Elektabilitas Menjelang Pemilu

0
1148

Potret Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu. Sumber: The Times of Israel

LiputanIslam.com—Demi meningkatkan elektabilitasnya menjelang pemilu, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu nekat mengobarkan perang yang sama sekali tak diinginkan oleh siapa pun.

Beberapa waktu lalu, rezim Israel melancarkan serangan militer ke Irak, Suriah, dan Lebanon. Saat ditanya oleh para wartawan, militer Israel berdalih, serangan yang dilakukan pada 25 Agustus lalu hanya untuk mencegah kemungkinan serangan dari IRGC di Suriah. Tentu saja, langkah-langkah ekstrem Israel ini akan semakin membuat stabilitas di Kawasan menjadi terancam.

Alih-alih mengecam, Sekneg Amerika, Mike Pompeo, justru malah mendukung agresi militer rezim Israel. Melalui panggilan telepon Mike Pompeo dengan Netanyahu, ia berkata, “ Kami memberikan dukungan kepada Israel untuk mempertahankan diri dari kemungkinan ancaman Pasukan Garda Revolusi Islam (IRGC) dan melakukan aksi pencegahan untuk melindungi aset-aset Israel di kawasan.”

Sikap yang ditunjukkan oleh Pompeo tentu saja mencerminkan keinginan Presiden As, Donald Trump. Trump, tidak seperti presiden AS sebelumnya Barack Obama, akan selalu mendukung agresi yang didalangi oleh kelompok-kelompok sayap kanan Israel, khususnya Netanyahu. Banyak tindakan ilegal Israel, yang meski ditentang oleh PBB, tetap mendapatkan dukungan dari Trump. Seperti, Trump mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang oleh PBB telah ditetapkan sebagai wilayah kedaulatan Suriah. Tak berhenti disitu saja, Trump juga mendukung blokade anggota Kongres AS, Rashida Tlaib dan Ilhan Omar, untuk memasuki wilayah Israel. Bahkan, Amerika mau-mau saja menghapus beberapa wilayah Palestina dari situs webnya, demi memuaskan Netanyahu dan kelompok sayap kanan Israel.

Baca: Hizbullah Gempur Pasukan Israel, Perwira Zionis Dikabarkan Tewas

Semua bukti keberpihakan Amerika kepada Israel telah begitu terang benderang, hingga tampaknya mustahil untuk dibantah lagi.

Dulu, saat Obama masih memimpin Amerika, rezim Netanyahu tidak bisa seleluasa ini menjalankan aksi penjajahan ke beberapa wilayah Palestina, seperti di West Bank. Namun, segalanya berubah saat Dubes AS untuk Israel, David Friedman, tiba-tiba mengklaim bahwa pemerintah Israel berhak untuk mengakuisisi beberapa wilayah di West Bank. Bagi Netanyahu, klaim sepihak ini adalah lampu hijau bagi Israel untuk memuluskan niat.

David Fridman secara langsung membalikkan komitmen AS selama puhan tahun untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Tentu saja, langkah-langkah seperti ini akan meningkatkan popularitas Netanyahu dan mengesankan dirinya sebagai pemimpin kuat yang mampu membawa Israel melakukan apa saja tanpa ada satu pun pihak yang menghalangi.

Setelah menuai pahitnya kegagalan di masa lalu saat menahan Iran di Suriah, Netanyahu akan mencari cara lain untuk menarik simpati masyarakat Israel untuk memilihnya pada pemilu Israel mendatang. Kini Netanyahu tidak hanya fokus kepada Iran, tapi juga kepada seluruh negara-negara di Kawasan. Meski begitu, Netanyahu semestinya lebih berhati-hati, karena cara “brutal”nya ini bisa saja menjadi bumerang yang justru bisa menghancurkan dukungan politik di Israel.

Agresi militer Israel pada 25 Agustus lalu di Lebanon adalah tanda penting untuk menandai awal mula konflik sejak berakhir pada 2006 silam. Hizbullah, sebagai satu kekuatan besar di Lebanon yang sangat menentang agresi Israel, segera merespon serangan itu dan mengeluarkan ancaman mematikan untuk rezim Israel.

“Saya katakan kepada tentara Israel di sepanjang perbatasan, mulai malam ini bersiaplah, tunggu kami,” Ancam petinggi Hizbullah, Seyyed Hassan Nasrallah. “Apa yang terjadi kemarin, tidak akan berlalu begitu saja,” tambah Nasrallah.

Ancaman Hizbullah bukanlah sekadar omong kosong. Minggu (1/9) kemarin, roket-roket anti-tank dari arah Lebanon meluncur ke arah Israel utara. Seorang perwira tinggi komandan divisi Israel utara dikabarkan tewas akibat serangan itu. Perang yang dipicu oleh Israel ini akhirnya benar-benar menyala dan mungkin tak akan terbendung selama Israel merasa dirinya sebagai “jagoan” di Kawasan.

Kita memang belum tau, siapa akan keluar sebagai pemenang dalam konflik militer ini. Jika nanti perang semakin memanas dan berbagai gempuran balasan terus menghujani Israel, maka bukan hanya Netanyahu gagal memperoleh simpati dari mayoritas rakyat Israel, tetapi bisa jadi negara Israel pun akan hancur lebur dihantam gelombang kemarahan yang selama ini telah terbendung akibat kesewenang-wenangan pemerintah Israel. (fd)

 

DISKUSI: