Mengenal Keterlibatan Aktor Asing dalam Pusaran Konflik di Libya
Tripoli,LiputanIslam.com—Libya, salah satu negara di Afrika yang kaya akan minyak, dilanda konflik berkepanjangan. Ada dua kubu yang bertikai di Libya, pertama adalah kubu GNA yang pemerintahannya diakui oleh PBB dan kedua adalah kubu LNA yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Khaftar.
Konflik yang terjadi di Libya, kenyataannya juga melibatkan sejumlah negara yang turut menyalurkan dukungannya kepada masing-masing kubu yang bertikai. Berikut adalah sejumlah negara yang terlibat dalam pusaran konflik Libya, seperti dikutip dari Al-Jazeera.
Uni Emirat Arab (UEA)
Uni Emirat Arab (UEA) dianggap sebagai pendukung utama kubu Khalifa Haftar, karena telah menyuplai sistem senjata canggih untuk LNA, terutama di sektor angkatan udara. UEA diduga telah menyuplai sejumlah drone Wing Loong buatan Cina selama beberapa bulan, di saat LNA tengah melancarkan serangannya ke GNA.
Menurut laporan PBB pada November tahun lalu, UEA juga telah menyuplai Haftar dengan sistem pertahanan udara canggih milik Rusia “Pantsir S-1” dan terpasang di pangkalan al-Jufra, dekat kota Gharyan. Pada 2017, PBB juga melaporkan UEA telah membangun pangkalan militer di Al-Khadim di Libya timur dan menyuplai pesawat serta kendaraan militer untuk Haftar.
Seperti disampaikan oleh Al-Jazeera, dukungan penuh UEA kepada Haftar didasarkan atas keinginan kuat negara Arab itu membendung pergerakan kelompok Ikhwan al-Muslimin di Libya.
“Abu Dhabi tak mentoleransi gerakan politik Islam, bahkan pada level yang sangat moderat,” ucap Jalel Harchaoui, seorang peneliti di Institute Clingendael dan pakar tentang Libya.
Mesir
Seperti halnya UEA, kebencian pemerintah Mesir terhadap Ikhwan al-Muslimin telah membuatnya menjadi sekutu alami Haftar.
Presiden Abdel Fattah el-Sisi berhasil menduduki kekuasaan usai melakukan kudeta terhadap Mohamed Morsi, presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis. Morsi adalah anggora Ikhwan al-Muslimin. Usai berlangsungnya kudeta, pemerintah Mesir melarang pergerakan organisasi itu dan menyebutnya sebagai kelompok teroris.
Bagi Mesir, penerimaan GNA—oposisi LNA di Libya—terhadap Ikhwan al-Muslimin dianggap sebagai hal yang berbahaya bagi masa depan Mesir.
Mesir memanfaatkan perbatasannya dengan Libya untuk menyelundupkan senjata dan logistik untuk Haftar, seperti diungkap oleh para pejabat Libya dan menlu Mesir.
Dalam perjalanan terbarunya ke Mesir, Haftar sempat mengatakan bahwa dirinya akan mengambil alih Tripoli dengan mudah jika Mesir mengirimkan pasukannya untuk melakukan penyerangan.
Prancis
Meski Presiden Emmanuel Macron dinilai mendukung upaya perdamaian di Libya, namun keberpihakannya pada Haftar tak bisa ditutupi. Seperti disampaikan oleh Al-Jazeera, ia pernah menolak pernyataan Uni Eropa yang menyeru agar Haftar menghentikan serangannya ke Tripoli. Sikap inilah yang menyebabkan Perdana Menteri GNA, Fayez al-Sarraj, menuduh Macron telah mendukung pemerintahan diktator.
Selain itu, muncul isu Prancis turut menyuplai perlengkapan militer untuk Haftar. Pada Juni tahun lalu, rudal Javelin buatan AS milik Prancis ditemukan di pangkalan para pasukan Haftar di kota Gharyan, sekitar 80 km sebelah selatan Tripoli.
Pada 2016, sebuah helikopter Prancis terjatuh di dekat wilayah Benghazi dan tiga orang penumpangnya tewas. Aksi ini diduga sebagai bagian dari operasi intelijen. Sementara GNA menilai insiden ini adalah bukti pelanggaran terhadap kedaulatan wilayahnya.
Motif keterlibatan Prancis dalam konflik di Libya masih belum diketahui.
Rusia
Seperti halnya Prancis, Rusia secara resmi mendukung upaya perdamaian yang diinisiasi PBB untuk Libya. Meski begitu, Moskow turut menolak pernyataan DK PBB yang menyeru Haftar menghentikan serangannya ke Tripoli. Bahkan, para pasukan Rusia diduga turut bergabung dengan pasukan Haftar dalam pertempuran itu.
Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) adalah salah satu negara yang mendukung berdirinya GNA pada akhir 2015. Namun, ketika Presiden Donald Trump memimpin pada Januari 2017, ia mengklaim AS tak memiliki peran apapun di Libya.
“Saya pikir peran Amerika Serikat cukup sampai di sini saja,” ucap Trump pada April 2017.
Meski begitu, Trump sempat berkomentar terkait serangan yang dilakukan Haftar ke Tripoli. Dalam sebuah panggilan telpon dengan Haftar, yang juga berstatus sebagai warga negara AS, Trump menyebut Haftar memiliki peran penting dalam menumpas terorisme dan menjaga sumber minyak Libya.
Arab Saudi
Wall Street Journal (WSJ) melaporkan pada April lalu bahwa Arab Saudi telah menawarkan puluhan juta dolar untuk membantu serangan Haftar ke Tripoli.
WSJ menyebut tawaran ini diberikan usai Haftar berkunjung ke Riyadh pada akhir Maret 2019, beberapa hari sebelum serangan itu dilakukan. WSJ menduga, dana ini digunakan oleh Haftar untuk “membeli” loyalitas para pemimpin suku, merekrut, dan menyewa pasukan dan hal-hal lainnya untuk tujuan militer. Bagaimanapun juga, Arab Saudi memiliki pendirian yang sama tentang Ikhwan al-Muslimin, seperti halnya UEA dan Mesir.
Sudan
Sebuah laporan datang dari komite sanksi Libya UNSC pada November lalu yang menuduh Sudan dan ketua RSF, Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemeti, telah melanggar sanksi PBB karena telah mengirim 1.000 pasukan ke Libya.
Mengutip keterangan dari komandam militer Sudan di Libya, sebanyak 3.000 pasukan Sudan terlibat dalam kampanye militer Haftar.
Turki
Turki diakui sebagai pendukung utama GNA, yang turut menyuplai senjata militer untuk membendung serangan LNA ke Tripoli. GNA dilaporkan telah membawa 20 drone tipe “Bayraktar TB2” dari Turki di akhir musim panas lalu.
Tak hanya itu, Ankara juga telah menerjunkan pasukannya ke Libya dan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa tujuannya bukan untuk bertempur, tapi untuk membela pemerintahan Libya yang ia anggap sah.
Samdi Hamdi, editor kepala International Interest mengatakan bahwa keberpihakan Turki pada GNA dilakukan untuk menjaga peran Turki di laut Mediterania. Ia menilai Turki tak akan membiarkan Libya jatuh ke tangan Haftar, yang juga berarti menaruh kepentingan Turki atas laut Mediterania di bawah belas kasihan UEA, Mesir, dan Yunani. (fd/Al-Jazeera)