ICC Kecewa AS Sanksi Investigator Kejahatan Perang di Afghanistan

Kantor Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag (Rick Bajornas, UN)
Den Haag, LiputanIslam.com–Kepala badan pengawas Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), O-Gon Kwon, mengecam keputusan pemerintah AS untuk menjatuhakan sanksi kepada pejabat ICC yang menyelidiki kejahatan perang di Afghanistan.
Menurutnya, keputusan itu merongrong “upaya melawan impunitas dan upaya memastikan pertanggungjawaban atas kekejaman massal”.
Keputusan sanksi itu diumumkan pada hari Kamis (11/6) oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Penasihat Keamanan Nasional Robert O’Brien, Menteri Pertahanan Mark Esper dan Jaksa Agung William Barr. Para pejabat ICC yang menyelidiki kejahatan perang di Afghanistan itu akan menghadapi pembatasan visa yang dikenakan pada keluarga mereka.
Investigasi ICC atas kejahatan perang di Afghanistan telah diberi lampu hijau pada bulan Maret lalu. Invesigasi ini akan dipimpin oleh Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda, yang telah mengajukan permintaan ke Kamar Pra-Pengadilan ICC pada November 2017.
Pada saat itu, kantor Jaksa Bensouda menyebut kejahatan di Afghanistan tidak pernah diselidiki oleh pengadilan nasional untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku.
Jaksa Agung AS William Barr pun mempertanyakan independensi dan imparsialitas ICC yang ia sebut “sedikit lebih dari alat politik yang digunakan oleh para elit internasional yang tidak bertanggung jawab”.
Namun, Kepala pengawas ICC, O-Gon Kwon menyebut ICC sebagai pengadilan yang beroperasi di bawah UU Roma yang mengakui yuridikasi Negara ketika menyangkut penyelidikan dan penuntutan kejahatan kekejaman. Menurutnya, ICC adalah pengadilan pilihan terakhir untuk melengkapi yurisdiksi nasional.
Selain itu, ICC dan dan badan pengawas ICC telah memulai peninjauan untuk memperkuat UU Roma dan memastikan akuntabilitas yang efektif dan efisien untuk kejahatan di dunia.
Respon Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia
Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) juga menyatakan kekecewaan atas keputusan AS tersebut. Juru bicara OHCGR Rupert Colville mengatakan kepada wartawan dalam pertemuan di Jenewa bahwa keputusan itu akan berdampak pada penyelidikan dan persidangan yang sedang berlangsung di ICC.
“Kemandirian ICC dan kemampuannya untuk beroperasi tanpa campur tangan harus dijamin,sehingga mereka dapat memutuskan masalah tanpa pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan yang tidak pantas, langsung atau tidak langsung,…” tegasnya.
Menurutnya, para korban pelanggaran HAM dan hukum humaniter internasional memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi dan mengetahui kebenaran. (ra/news.un.org)