Surat Ahed Tamimi tentang Penjajahan dan Perjuangan Palestina

0
555

Tepi Barat, LiputanIslam.com–Remaja 17 tahun ikon resistensi Palestina, Ahed Tamimi, menulis sebuah surat mengharukan tentang hidupnya di penjara dan sebagai “anak di bawah penjajahan Israel”. Surat ini diterbitkan di majalah Vogue Arabia edisi Oktober 2018.

Aktivis muda dari desa Nabi Saleh, Tepi Barat, ini dipernjara selama 8 bulan hanya karena menampar dua tentara Israel yang mengganggu keluarganya. Aksinya itu terekam kamera dan menjadi viral di media sosial.

Dalam suratnya, Ahed menulis, “Saya seorang anak di bawah penjajahan Israel. Saya selalu di sana. Memori pertama saya adalah penangkapan ayah saya pada tahun 2004 dan saya mengunjunginya di penjara. Saat itu, saya berumur tiga tahun; ayah saya dipenjara dua kali setelah itu. Tahun lalu, ketika saya berumur 16 tahun, saya ditangkap juga dalam sebuah razia tengah malam, karena saya menampar tentara yang masuk ke halaman rumah kami. Saya dijebloskan ke penjara Israel selama 8 bulan.”

Kehidupan di balik jeruji penjara tidaklah mudah. Ahed dan tahanan lain harus bangun jam 5:30 pagi dan tidak mendapat sarapan sampai jam 10:30 siang. Mereka tidak diperbolehkan berjalan keluar. Ketika Ahed mencoba membentuk kelompok belajar dengan teman-teman perempuannya yang lain, petugas penjara melarangnya. Namun di tengah ringtangan seperti itu, dia dan teman-teman tahanannya tetap berupaya belajar dan lulus ujian.

Ahed Tamimi telah menjadi “simbol perjuangan melawan penjajahan” karena penahanannya. Tetapi, terdapat 300 anak Palestina lain di penjara Israel yang kisah mereka tidak diketahui dunia. Dalam suratnya, Ahed pun menulis tentang dua tahanan remaja bernama Nurhan Awwad dan Hadia Arainat. Mereka dijatuhi hukuman masing-masing 13 tahun dan tiga tahun penjara karena tuduhan palsu.

Mengenai tanggungjawabnya kini sebagai juru bicara resistensi Palestina, Ahed menulis bahwa banyak orang bertanya padanya di mana ia menemukan kekuatan dan keberanian untuk melawan penjajahan. Ia menjawab, “Aku kini menghadapi situasi yang memaksaku untuk menjadi kuat. Terntu saja, itu juga berkat pengaruh orangtuaku. Mereka selalu menjadi inspirasi terbesarku. Sementara aku percaya bahwa semua orang di desaku sama sepertiku; Aku tidak istimewa.”

Ahed mengakui bahwa peran ini muncul bersamaan dengan hilangnya kehidupan privat yang normal baginya, di mana ia merasa semakin kehilangan diri. Ahed tetap ingin menjadi remaja 17 tahun yang normal, yang memakai baju bagus, bertemu teman, makan es krim, pergi berenang, tapi dia juga menyadari bahwa hidupnya berbeda dengan remaja “normal”.

“Malah, aku terlibat dalam aksi demonstrasi dan konfrontasi dengan tentara Israel sejak aku kecil,” tulisnya.

“Semua yang kami rakyat Palestina lakukan adalah reaksi terhadap penjajahan. Tetapi aku tidak melihat tanda-tanda kemajuan. Sebaliknya–pembangunan pemukiman [Israel] akan tetap berlanjut dan pos pemeriksaan semakin banyak; itu yang aku lihat di Tepi Barat tiga tahun dari sekarang. Namun, kami masih bercita-cita bahwa suatu hari kami akan hidup dalam negara Palestina yang merdeka. Solusi dua negara tidak akan terjadi. Kami sebelumnya percaya bahwa Perjanjian Oslo (yang ditandatangani pada 1993 dan 1995) akan menjadi sebuah langkah untuk mencapai ini– tapi lihat situasi sekarang.”

Ahed bercita-cita bekerja di institusi internasional di bidang hukum, yaitu advokasi level tinggi untuk Palestina dan berbicara di Pengadilan Pidana Internasional di Hague.

Sejak September tahun ini, Ahed telah melakukan perjalanan ke Prancis, Yunani, dan Spanyol untuk berbicara mengenai penjajahan Israeli dan perjuangan Palestina. (ra/mintpress)

DISKUSI: