SBY Tak Tanda Tangan, UU Pilkada Tetap Bisa Jalan
Jakarta, LiputanIslam.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan berat hati untuk menandatangani UU Pilkada yang telah disahkan DPR pada Jum’at, (26/9/2014). Ia kembali menegaskan dukungannya terhadap pilkada langsung.
“Saya konsisten, yang terbaik tetap pilkada langsung dengan 10 perbaikan. Partai Demokrat sedang siapkan gugatan hukum yang tepat, apakah nanti ke MK atau MA. Sebagai Presiden, saya berat untuk tandatangani UU ini karena merebut hak rakyat & berpotensi konflik dengan produk hukum lain, seperti UU Pemda,” tulis SBY di akun twitternya-nya, @SBYudhoyono.
Hanya saja, apakah tanda tangan SBY pada UU Pilkada memiliki pengaruh terhadap keabsahan undang-undang tersebut secara hukum?
“Undang-undang ditandatangani atau tidak oleh Presiden, tetap berlaku dengan sendirinya. Tapi tidak tercatatkan dalam lembaran negara. Dengan sendirinya legal berlaku,” ujar Ray Rangkuti, seorang pengamat politik dalam diskusi “Menolak UU Pilkada Produk Pengkhianat Demokrasi,” di Jakarta, Minggu (28/9/2014), seperti dilansir Tribunnews.
Menurut Ray, sebuah undang-undang tetap berlaku berdasar aturan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945. Pasal ini menjelaskan RUU yang telah disetujui bersama meski tak disahkan presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, maka tetap menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Jika UU Pilkada tak disahkan Presiden SBY, publik justru akan merugi karena tidak bisa mengajukan uji materi undang-undang tersebut ke MK.
“SBY bilang saya tak akan tandatangan. Kesannya heroik. Padahal kalau dia tak tandatangan bagaimana rakyat mau menggugat? Itu UU nomor berapa? Kita tidak tahu. Sudah ada enggak di lembaran negara? Bagaimana MK mau menguji UU yang belum ditetapkan dalam lembaran negara,” terangnya.
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, juga turut mengatakan hal yang sama. UU Pilkada tetap sah walau tanpa tanda tangan SBY. Menurut Refly, jika Presiden SBY memang sejak awal berniat untuk menolak RUU Pilkada lewat DPRD, seharusnya SBY menyampaikan penolakan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sesaat sebelum pimpinan Sidang Paripurna, Priyo Budi Santoso, menyetujui RUU tersebut.
Seandainya SBY melakukan hal tersebut, maka UU Pilkada itu dapat untuk tidak disetujui DPR. Hal tersebut diatur dalam Pasal 20 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Dalam Pasal 20 ayat 2, disebutkan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Kemudian dalam Pasal 20 ayat 3 dijelaskan bahwa jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (ph)