‘Peta Besar’ Kegagalan AS di Afghanistan

0
2554

LiputanIslam.com –Kabul jatuh, di tengah ketidakpercayaan dunia, dan gerilyawan Taliban mampu merebut kota besar terakhir dan terpenting di Afghanistan tanpa banyak perlawanan. Kemajuan pesat Taliban dan penaklukan Kabul dalam satu hari tidak pernah terbayangkan bahkan oleh pandangan paling pesimistis tentang kemungkinan tentara dan pasukan pemerintah melawan pemberontak Taliban.

Sebelumnya, badan intelijen Barat dan militer serta politisi memperkirakan bahwa militer Afghanistan punya peluang untuk bisa mempertahankan Kabul dari serangan Taliban selama tiga minggu. Rentang waktu ini bisa digunakan oleh negara-negara Barat untuk mengevakuasi warga negara dan staf kedutaan mereka datri kota itu. Fakta bahwa Kabul jatuh hanya dalam tempo sehari menunjukkan kegagalan intelijen dan militer Amerika Serikat dan Barat. Tentu fakta ini memunculkan pertanyaan, apa penyebab jatuhnya Kabul dengan mudah dan dominasi Taliban atas wilayah Afghanistan.

 

Misinformasi Prediksi: Kejutan atau Intrik?

Sebelumnya pada bulan Juli, komunitas intelijen AS menyatakan bahwa Kabul bisa saja jatuh dalam waktu enam bulan. Tetapi, dalam perkiraan terbaru yang dirilis oleh Washington Post, mengutip sumber intelijen militer AS, ada ralat prediksi hingga perkiraan waktu itu semakin pendek. Dikatakan bahwa Kabul bisa saja jatuh dalam waktu 90 hari atau bahkan dalam 30 hari.

Sekarang, kejatuhan cepat pemerintah Afghanistan dan kekacauan yang dihasilkannya telah menciptakan banyak kritik dari Partai Republik ke Biden, dengan mengatakan bahwa Biden telah gagal. Pemimpin Senat Republik Mitch McConnell menyebut serbuan diplomat Amerika itu “memalukan.”

Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengevakuasi warga negara mereka dari Afghanistan, sehingga mereka mengirim pasukan ke Afghanistan untuk mengevakuasi kedutaan sesegera mungkin. “Kami mengambil serangkaian langkah untuk mengamankan Bandara Internasional Hamid Karzai untuk memungkinkan keluarnya personel AS dan sekutu mereka dengan aman dari Afghanistan melalui penerbangan sipil dan militer,” kata Pentagon dan Departemen Luar Negeri dalam pernyataan bersama, Minggu (15/8).

Biden juga dilaporkan telah memerintahkan 1.000 tentara lainnya memasuki Kabul untuk memastikan evakuasi tersebut. “Kami melihat bahwa tentara Afghanistan tidak dapat mempertahankan negara, dan itu terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan,” kata Menteri Luar Negeri Anthony Blinken.

 

Jatuhnya Citra Intelejen AS

Menajamnya kritik domestik dan internasional terhadap pemerintah AS dan terungkapnya kekalahan besar intelijen dan militer Washington di Afghanistan, telah mencoreng citranya sebagai negara adidaya di arena internasional. Masalah ini juga memicu kembali kritikan atas penarikan tentara AS dari Afghanistan, yang disebut sebagai terlalu tergesa-gesa atau belum waktunya. Akibatnya, muncul juga keragu-raguan tentang salah satu kesepakatan dalam ‘Perjanjian Doha’ dengan Taliban tentang ketidakmungkinan kembalinya Al-Qaeda ke Afghanistan.

Jenderal Mark Millie, Kepala Staf Gabungan, mengatakan kepada para senator melalui telepon pada hari Minggu bahwa para pejabat AS diperkirakan akan mengubah penilaian dan analisis mereka sebelumnya tentang seberapa cepat kelompok-kelompok teroris di Afghanistan mampu membangun kembali kekuatan mereka. Mengingat situasi yang berkembang, para pejabat percaya bahwa kelompok teroris seperti Al-Qaeda dapat tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sementara itu, ada laporan lain yang menyatakan bahwa badan intelijen AS telah menulis pesan rahasia kepada Gedung Putih terkait dengan kemajuan Taliban yang bermakna jatuhnya Kabul lebih cepat. Akan tetapi, peringatan ini diabaikan oleh Biden dan timnya. Dalam perspektif isu ini, pada dasarnya, di belakang layar, AS mendukung jatuhnya Kabul dan tergulingnya pemerintah oleh kekuatan Taliban.

Kegagalan ‘Peta Besar’

Semua itu tentunya baru berupa desas-desus dan rumor yang sulit dibuktikan, karena semuanya terkait dengan keputusan dan operasi intelejen yang serba rahasia dan misterius. Hanya saja, satu hal yang pasti, jatuhnya Kabul itu melengkapi kegagalan demi kegagalan AS dan sekutu-sekutunya dalam konteks ‘peta besar’ operasi militer mereka di Afghanistan.

Sebagaimana yang digembar-gemborkan AS dalam 20 tahun terakhir ini, dikatakan bahwa AS telah menggelontorkan dana milyaran Dolar serta telah ‘mempersembahan’ nyawa para prajutnya (jumlahnya lebih dari 2.300). Untuk apa? Untuk membantu rakyat Afghanistan menjadi negara yang aman, damai, demoratis, dengan tentara yang kuat dalam mempertahankan negara menghadapi kelompok radikal teroris.

Faktanya, cara yang dipakai oleh AS tak jauh beda dengan cara yang dilakukan oleh penjajah. Dalam hal pendidikan dan pelatihan tentara Afghanistan, misalnya, AS menjadikan tentara Afghanistan sebagai bagian dari kekuatan yang  lebih membela kepentingan AS, alih-alih kepentingan rakyat Afghanistan. Tak jarang tentara Afghanistan terlibat dalam beberapa operasi militer yang dipimpin oleh AS, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di pihak sipil Afganistan.

Kemudian, tentara Afghanistan tidak pernah dengan sungguh-sungguh dilibatkan dalam strategi militer utama AS di Afghanistan. Tentara Afghanistan tidak memiliki akses atas berbagai informasi penting militer dan intelejen di  Afghanistan. Bahkan, tentara Afghanistan tidak punya akses terhadap artileri canggih tentara AS. Alasannya bisa difahami. Artileri-artileri itu mengandung informasi ketahanan militer AS. Akan tetapi, dengan situasi seperti ini, ada konsekwensi buruk yang harus diterima oleh AS, yaitu bahwa tentara Afghanistan memang selamanya akan menjadi kekuatan yang sangat rentan dan jauh dari kemandirian.

Karenanya, sangatlah bisa difahami bahwa ketika AS mulai menarik tentaranya dari Afghanistan, dengan mudahnya Taliban menguasai satu demi satu kota yang berpuncak kepada dikuasainya ibukota Kabul. Ketika gerilyawan Taliban merangsek, tentara Afghanistan berada dalam situasi kebingungan. Mereka tak punya informasi strategis yang diperlukan tentang bagaimana cara menghadapi Taliban. Bahkan sangat mungkin tentara Afghanistan itu tak tahu bahwa Taliban sudah semakin merangsek. Ketika tentara AS pergi, yang dihadapi gerilyawan Taliban adalah tentara ‘amatir’ yang kebingungan dan tak punya semangat melawan.

Sebenarnya, faksi-faksi di di Afghanistan itu sangat banyak. Salah satu yang diharapkan bisa menghadapi Taliban adalah Front Perlawanan Anti-Taliban Afghanistan Utara. Akan tetapi, para pemimpin front ini  telah dibunuh selama dua dekade terakhir. Burhanuddin Rabbani, Jenderal Davood, Jenderal Shah Jahan Nouri, Jenderal Raziq, Seyyed Mustafa Kazemi, Jenderal Seyyed Kheili, dan Samangani, adalah tokoh-tokoh yang selevel dengan Ahmad Shah Massoud, dan termasuk di antara para korban pembunuhan berantai ini. Dalam kevakuman, tidak ada pemimpin kuat yang bisa menyatukan kekuatan melawan Taliban.

Mengharapkan munculnya ‘kekuatan-rakyat’ dalam melawan Taliban juga seperti mimpi di siang bolong. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rakyat Afghanistan umumnya membenci AS atas aksi pendudukan negara oleh pasukan asing. Secara umum, AS dipersepsi oleh mayoritas publik Afghanistan sebagai pihak yang tidak punya rasa hormat terhadap kedulatan rakyat dan negara.

Perkembangan selanjutnya di Afghanistan sangat menarik dinantikan. Langkah AS dan sekutu-sekutunya, termasuk apa yang akan dilakukan oleh Arab Saudi, akan menjadi sangat menarik. Kita juga belum memasukkan faktor ‘Poros-Perlawanan’, yaitu kubu Iran, Hezbollah Lebanon, Suriah, juga HAMAS serta Jihad Islam Palestina. Kubu ini juga kelihatannya punya peran yang sangat besar terhadap konstelasi terbaru Afghanistan. (os/alwaght)

DISKUSI: