Pembebasan Palmyra, Permata Negeri Suriah
LiputanIslam.com — Untuk kesekian kalinya, Amerika Serikat dan sekutunya gigit jari. Dibebaskannya kota kuno Palmyra dari cengkraman kelompok teroris transnasional Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) oleh pasukan gabungan Suriah merupakan pukulan yang sangat telak. Bagaimana tidak, ISIS melakukan konvoi ratusan kali yang melintasi gurun Suriah dan Irak, dari Ramadi di Irak menuju kota Palmyra, dan tentu saja, wilayah itu berada di dalam jangkauan radar AS. Faktanya, AS dan sekutunya toh membiarkan saja ISIS lalu lalang.
Sekitar 10 bulan yang lalu, kota kuno Palmyra yang merupakan salah satu situs warisan dunia ini jatuh ke tangan ISIS. Tentu saja, kelompok teroris ini tidak akan eksis kalau tiada bantuan dari AS dan sekutunya negara-negara Arab, yang tengah bersandiwara membentuk koalisi anti-ISIS, namun keberadaan mereka di Suriah justru membuat wilayah yang dikuasai ISIS meluas. Belum lagi fakta aneh ketika AS berkali-kali “salah mengirim senjata”. Klaimnya, mengirim senjata untuk pasukan Kurdi, namun senjata tersebut malah jatuh di wilayah yang dikontrol ISIS.
Kota Palmyra yang merupakan “permata” Suriah tidak luput dari perusakan. ISIS menghancurkan peninggalan sejarah ini, sebagaimana Israel juga berusaha menghapus jejak identitas asli dari tanah yang mereka duduki.
Mengapa Palmyra begitu penting? Apakah hanya karena kota tersebut merupakan kota kuno yang sarat peninggalan sejarah?
Palmyra, Kota yang Kaya
Palmyra kaya akan minyak dan gas. Palmyra juga berada di lokasi yang strategis, di tengah-tengah kota dan tentu saja ada potensi untuk memisahkan Suriah menjadi bagian utara dan selatan.
“ISIS telah menyerang lalu mengambil alih beberapa kilang minyak dan gas di Suriah, yang kemudian digunakan untuk membiayai operasional. Mengingat Palmyra adalah kota pusat populasi, ISIS bisa menggunakannya sebagai basis logistik. Di sana juga ada air,” ujar Jeff White, pakar politik Timur Tengah dari The Washington Isntitute (Middle East Eye, 16 Mei 2015).
Menurut Jeff, menguasai Palmyra berarti ISIS telah berada di “pintu depan” Damaskus, Homs dan Hama.
“Palmyra merupakan ladang minyak dan gas. Ada pipa yang menyalurkan gas ke pembangkit listrik di Aleppo, Damaskus, Homs, dan Banias,” tambah Jeff.
Pemerintah Suriah sendiri selama ini menggunakan Palmyra sebagai basis logistik dan amunisi. Dari kota inilah amunisi disalurkan ke wilayah Suriah utara.
Pembebasan Palmyra
Tentara Arab Suriah (SAA), yang didukung oleh sekutunya Hizbullah melakukan operasi militer yang offensif, dan kota ini berhasil dibebaskan sepenuhnya pada tanggal 27 Maret 2016. Keberhasilan ini merupakan jawaban atas klaim AS yang menyatakan bahwa sangat sulit untuk mengalahkan para jihadis. Sekretaris Negara AS John Kerry pernah berkata bahwa untuk menumpas jihadis, AS dan koalisinya butuh waktu bertahun-tahun.
“Para jihadis rontok hanya dalam waktu seminggu di Palmyra. SAA, Hizbullah, dan dengan dukungan Rusia mengatur strategi secara profesional. Mereka bertransformasi menjadi pasukan yang fleksibel, bergerak sangat cepat mengepung teroris yang menguasai Palmyra. Setiap kali bentrokan, mereka semakin maju ke depan. Ini adalah bukti nyata kekuatan SAA. Dan ini adalah alasan lain mengapa Israel dan sekutunya di Dewan Kerjasama Teluk, juga AS, begitu berambisi menghabisi SAA. Sejarah, identitas, pariwisata, dan ekonomi memang telah mendefinisikan peradaban di Palmyra di masa lalu. Namun di masa kini, nilai-nilai tersebut jauh lebih bernilai karena adanya pengorbanan besar-besaran yang dilakukan oleh ‘tentara baru’ Ratu Zenobia, ” tulis Afraa Dagher, seorang analis politik, (Mehrnews, 30 Maret 2016).
Barat Tidak Tertarik Dengan Perdamaian di Suriah
Palmyra telah berhasil direbut kembali. Namun Palmyra juga telah hancur. Kota kuno iti harus diperbaiki segera. Karena itu, Presiden Suriah Bashar Al Assad menyerukan kepada lembaga internasional agar berkontribusi melakukan perbaikan.
“PBB dan lembaga-lembaga yang terkait dengan pelestarian warisan budaya harus berupaya untuk mendukung pemerintah Suriah memulihkan kota Palmyra,” tulis Assad dalam suratnya kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Dewan Keamanan PBB pun telah menyusun draft resolusi terkait pembebasan Palmyra, namun ternyata, negara-negara Barat memblokir rancangan ini.
“Keputusan untuk memblokir rancangan resolusi atas pembebasan Palmyra di DK PBB menunjukkan bahwa Barat tidak tertarik dalam proses perdamaian di Suriah,” ujar juru bicara Kementrian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova.
Maria juga menuduh bahwa sikap yang ditunjukkan oleh negara-negara Barat ini membuktikan bahwa mereka tidak berniat memerangi terorisme dan mempromosikan perdamaian, juga nilai-nilai budaya yang kerap diklaim. Kepentingan politik yang bersifat ekslusif yang menjadi tujuan utama.
“Karena itu, Rusia memutuskan untuk mengajukan rancangan resolusi Palmyra ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dan menyerukan rekonstruksi kota Suriah kuno Palmyra,” tutupnya. (ba)