Ningrum dan Forum Jihad Yogyakarta
Sebuah foto menarik menjadi perbincangan hangat di berbagai media sosial: foto seorang perempuan berjilbab yang bergandengan tangan dengan seorang biarawati di Jalan Loji Kecil, Yogyakarta, Rabu (8/1/2014). Foto itu diunggah oleh Lexy Rambadeta, pembuat film dokumenter, di akun Facebook-nya. Banyak pihak menilai foto ini sangat menyejukkan di tengah atmosfer intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Wartawan kemudian menemukan identitas kedua perempuan itu, yaitu Ningrum Septianda dan Suster Maria Patrice. Ningrum Septianda adalah mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa
Ningrum menyatakan bersyukur bila fotonya bersama Suster Maria mampu mengilhami persaudaraan umat beragama di Nusantara. Namun di saat yang sama, Ningrum mengaku kaget mengapa foto itu sedemikian disambut hangat karena sebenarnya, pertemanan antarumat beragama merupakan hal yang wajar dan biasa di Yogyakarta. Ningrum berpendapat, dalam kemajemukan, Yogyakarta masih mampu mempertahankan toleransi hingga saat ini. Semua suku, ras, dan agama hidup berdampingan dan bersaudara. “Bagi saya, indahnya Yogya salah satunya di situ. Bersatu dalam perbedaan,” katanya.
Mungkin Ningrum belum mendengar, bahwa kedamaian Yogyakarta akhir-akhir ini terusik oleh aksi-aksi kelompok berlabel jihad. Pada bulan November yang lalu, Front Jihad Islam Yogyakarta dan afiliasinya telah memasang sejumlah spanduk di Yogyakarta, yang menyatakan Syiah bukan Islam. Mereka juga mengancam akan menyerang kantor Yayasan Rausyan Fikr di Kaliurang, yang mereka tuduh Syiah. Untuk mengantisipasi serangan itu, pada Jumat 22 November 2013, anggota polisi dan TNI melakukan penjagaan.
MUI Yogyakarta yang seharusnya mengayomi umat Islam, dan seharusnya mengetahui apa isi Deklarasi Amman (deklarasi para ulama sedunia bahwa Syiah adalah bagian dari Islam), justru memperkeruh suasana, dengan mengirimkan surat tertanggal 25 November 2013 yang mengusulkan agar Kemenag segera menuntaskan polemik Syiah dengan mengeluarkan fatwa MUI Pusat bahwa Syiah sesat dan ajarannya di luar Islam. Selain itu MUI DIY menyarankan aparat keamanan membekukan, membubarkan lembaga atau organisasi tempat bernaung penyebar ajaran Syiah.
Menurut Dr. Muhammad Anis, dosen UIN Yogyakarta, fenomena ini sangat berkaitan dengan pergolakan politik di Timur Tengah. Bukan rahasia lagi bahwa Saudi Arabia sangat kecewa karena AS batal menyerang Suriah dan melunakkan sikap terhadap Iran. Bahkan Kepala Badan Intelijen Saudi Arabia, Pangeran Bandar bin Sultan, pernah nekat mengancam Vladimir Putin bahwa jika Rusia tetap mendukung Suriah, maka Saudi Arabia akan mengkoordinasi para teroris Chechen untuk mengacaukan Olimpiade Musim Dingin Rusia (7-23 Februari 2014).
Anis menyatakan, “Eskalasi intoleransi takfiri terhadap minoritas Syiah di Indonesia tampaknya tak dapat dilepaskan pula dari kunjungan rahasia Bandar bin Sultan ke Jakarta sekitar dua bulan yang lalu. Sayang, kunjungan ini tidak terendus oleh media lokal.”
Melihat situasi yang semakin memanas, sikap MUI yang tidak bijak, serta tak adanya jaminan keamanan yang tegas dari aparat hukum dan pemerintahan di DIY, akhirnya pengelola Lembaga Rausyan Fikr memutuskan menghentikan semua kegiatannya. “Secara resmi lembaga kami menghentikan semua kegiatan rutin berupa kajian keagamaan dan sejumlah acara agenda forum diskusi antar lembaga sejak 27 Desember 2013,” ujar Humas Rausyan Fikr, Edi Syarif, Ahad 5 Januari 2014. (sumber: kompas/tempo/irib indonesia)