Nasib Erwiana, Bukti Lemahnya Pemerintah
Saat Erwiana berangkat ke Hong Kong pada Mei 2013, tak terbayangkan olehnya bahwa dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk. Dia terbang ke Hong Kong melalui jasa PT Graha Ayu Karsa yang memiliki kantor cabang di Ponorogo. Sebelum berangkat, Erwina harus menjalani masa penantian panjang, hidup delapan bulan di penampungan.
Sejak kedatangannya, Erwiana disiksa majikannya hingga kepulangannya pada pekan lalu ke Indonesia. Saat ini Erwiana sedang dalam perawatan di rumah sakit.
“Majikannya setiap hari memukuli Erwiana,” kata Sringatin, Wakil Ketua Persatuan Pekerja Migran Indonesia di Hongkong.
Selain memukuli, majikan Erwiana juga hanya mengizinkan dia tidur empat jam sehari dan mengharuskan Erwiana membersihkan rumah sesuai dengan urutan yang sudah ditentukan.
“Jika Erwiana membersihkan toilet sebelum kamar tidur, maka majikannya langsung memukul. Jika majikannya memanggil dan Erwiana terlambat merespon, dia juga akan dipukul,” ujar Sringatin.
Sringatin menambahkan, sang majikan membiarkan Erwiana pulang ke Indonesia setelah dia tak mampu lagi bekerja karena luka-lukanya. Saat pulang, Erwiana hanya diberi uang sebesar 70 dollar Hongkong atau sekitar Rp 107.000. Kepulangan Erwina ke Indonesia dibantu oleh rekan-rekannya sebangsa. Saking parahnya luka yang diderita Erwina, dia bahkan tak mampu berjalan sendiri di bandara. Kasus ini kemudian terungkap setelah foto-foto Erwiana dengan luka-luka di tangan, kaki, dan wajahnya menyebar di antara komunitas warga Indonesia di Hongkong.
Ironisnya, pemerintah Indonesia belum bersuara. Yang berjuang justru kelompok-kelompok advokasi pekerja migran di Hong Kong. Mereka menggelar dua unjuk rasa pekan ini untuk membawa kasus yang mereka sebut sebagai “perbudakan modern” itu diketahui publik. Atas desakan kelompok-kelompok ini, kepolisian Hong Kong menyatakan segera melakukan penyidikan jika menerima laporan dari agen penempatan tenaga kerja terkait penyiksaan terhadap pekerja.
Saat ini terdapat sekitar 312.000 pekerja domestik asing di Hong Kong. Separuh dari jumlah itu berasal dari Indonesia dan sebagian besar adalah perempuan. Sementara separuh sisanya didominasi PRT dari Filipina. Amnesti Internasional melaporkan, para pekerja migran itu dieksploitasi demi keuntungan di Hongkong. Agen perekrutan menahan dokumen mereka dan mengenakan biaya mahal untuk pengiriman ke Hongkong dengan iming-iming gaji tinggi.
“Mereka dieksploitasi dalam kondisi kerja paksa,” demikian laporan Amnesti Internasional.
Kasus Erwina telah menambah panjang deretan penghinaan yang ditimpakan kepada bangsa Indonesia oleh bangsa-bangsa lain. Baru-baru ini, seorang TKW diperkosa oleh tiga polisi Diraja Malaysia di Penang, Malaysia. Dan lagi-lagi tidak ada langkah tegas perlindungan yang diberikan pemerintah.
Direktur Eksekutif Migrant Institute Dompet Dhuafa, Adi Candra Utama, berkomentar, kasus Erwiana ini mencerminkan lemahnya pengawasan Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu buktinya, nasib Erwiana luput dari perhatian pemerintah dan baru terekspos setelah rekan-rekannya sesama buruh migran bergerak membantu.
’Intinya, ada masalah sistemik yang berhubungan dengan tata kelola penanganan TKI,’’ ujar Adi. (liputanislam.com/kompas/republika)