Misi Besar di Balik Kunjungan Rahasia Kepala Intelijen Mesir ke Suriah

0
1683

LiputanIslam.com –  Pemerintah Mesir tampak sudah jengah dengan kebijakannya yang pasif di bidang politik dan keamanan selama beberapa tahun terakhir. Memburuknya kontroversi Bendungan Grand Renaissance di Ethiopia, pengkhianatan AS dan Israel terhadap Mesir, serta rasa keterkucilan Kairo di tengah Dunia Arab mendorong Negeri Piramida ini untuk mencoba bermain prima lagi di gelanggang Arab demi mendapatkan kembali peran sentral yang pernah dimilikinya di masa lalu.

Asumsi demikian diperkuat oleh kunjungan rahasia Mayjen Abbas Kamel, kepala badan intelijen Mesir, ke Damaskus untuk menemui Kepala Badan Keamanan Nasional Suriah, Mayjen Ali Mamlouk, pada pertengahan pekan lalu.

Dalam pertemuan ini keduanya membahas eskalasi militer Turki di Suriah utara serta pengerahan lebih dari 5000 militan oleh Turki ke Libya untuk menyokong Pemerintahan Kesepakatan Nasional (Government of National Accord/GNA) dalam perang melawan Tentara Nasional Libya (Libyan National Army/LNA) yang didukung oleh Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia dan kini sedang mengepung Tripoli.

Krisis Libya merupakan masalah besar bagi Mesir sehingga Kairo merasa cemas oleh kedatangan ribuan kombatan kelompok-kelompok teroris ke Tripoli untuk menyokong GNA yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez Mustafa al-Sarraj dan didukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Karena itu, melalui Mayjen Kamel, pemerintah Mesir bisa jadi bermaksud mengatur kunjungan rahasia Jenderal Khalifa Haftar, pemimpin LNA, ke Damaskus di pekan yang sama, dan kemudian tercapai kesepakatan pemulihan hubungan Suriah dengan Libya kubu LNA yang bermarkas di Tobruk serta pembukaan kembali kedutaan besar Libya di Damaskus.

Pendekatan hubungan Suriah-Mesir dan Suriah-Libya ini tentu menjadi pukulan bagi Erdogan karena bisa jadi akan menjurus pada perubahan fundamental dalam geopolitik dan militer kawasan Timur Tengah secara umum dan berdampak buruk bagi Turki dan membuatnya semakin terkucil terutama di Timur Tengah.

Aliansi regional baru tampak sedang terbentuk dan berproses dengan cepat di mana Mesir, Suriah, dan Aljazair menjadi intinya. Aliansi ini bertujuan mengaktifkan aksi bersama Arab, memulihkan kembali “Arabisasi” Liga Arab, dan mengakhiri dominasi negara-negara Arab Teluk yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun dalam lingkaran pengambilan keputusan, yaitu hegemoni yang telah menghasilkan berbagai keputusan krusial terutama pembekuan keanggotaan Suriah di Liga Arab, akselarasi campurtangan militer yang gagal untuk penggulingan pemerintah Suriah, serta dukungan kepada intervensi NATO di Libya yang berujung penggulingan pemerintahan mendiang Muammar Gaddafi dan pembunuhannya secara sadis.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab yang rencananya akan digelar di Aljazair sebelum bulan Juni mendatang setelah sekarang tertunda bisa  jadi juga akan menandai peluncuran aliansi baru di mana beberapa negara Arab lain semisal Lebanon, Irak, Tunisia, dan Kuwait akan bergabung ke dalamnya, dan akan menghasilkan keputusan signifikan terutama pemulihan keanggotaan Suriah di Liga Arab, serta mengembalikan keseimbangan dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi negara-negara Arab ini.

Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune yang akan memimpin KTT Liga Arab mendatang telah memberitahu sekjen organisasi ini, Ahmed Aboul Gheit, bahwa dia menginginkan KTT kali ini berbeda dengan serangkaian KTT sebelumnya.

Tebboune menegaskan bahwa Aljazair tidak akan menempati kursi di Liga Arab jika kursi Suriah tetap kosong seperti beberapa KTT sebelumnya, dan bahwa penundaan KTT itu terjadi bukan lantaran heboh penyebaran virus corona, melainkan lebih bertujuan membuka jalan bagi upaya pengembalian Suriah ke Liga Arab serta menghilangkan noda hitam pengucilan Suriah dari lembaran sejarah kebersamaan bangsa-bangsa Arab.

Aljazair yang sedang menjalani proses pemulihan dari kelumpuhan tampak bertekad menolak pemboikotan Suriah dalam KTT Liga Arab, suatu perhelatan besar di mana para raja dan pemimpin Arab datang justru hanya untuk tidur, itupun dalam sidang yang hanya berlangsung beberapa jam. Dengan demikian, masa suram dalam sejarah kebersamaan bangsa-bangsa Arab bisa jadi akan berakhir di Aljazair. (mm/raialyoum)

DISKUSI: